01 Agustus 2023

Aksi Massa : Tan Malaka [16]

 IX

PERKAKAS REVOLUSI KITA

Dengan pelbagai ragam suara, dalam keadaan yang berbeda-beda dan oleh berbagai golongan rakyat, tujuan politik kita sudah dinyatakan yaitu kemerdekaan nasional. Tentang tujuan akhir ini, orang di seluruh Indonesia telah bulat sepakat. Hanya tentang jalan yang akan ditempuh serta alat-alat yang akan dipakai, berlain-lainan pendapat orang.

Pertukaran susunan negara feodalistis ke kapitalistis yang cepat dan tidak sesuai dengan kemauan alam menyebabkan bangsa Indonesia berubah cepat cara berpikirnya. Tetapi, perubahan cara berpikir ini biasanya tertinggal dari perubahan ekonomi. Umumnya bangsa kita secara lahiriah tampak modern sesuai dengan zaman kapitalis tetapi cara berpikirnya masih kuno, masih tinggal di zaman dahulu, seperti masih menganut Mahabarata, Islam, dan berbagai macam takhayul dan kepercayaan kepada hantu, jin, kesaktian gaib, batu keramat dan lain-lain. Mereka masih terus seperti anak-anak dan berpikiran fantasi.

Kekalahan dalam persaingan ekonomi dengan kapital Barat yang lebih kuat itu menyebabkan terbitnya pikiran tidak betul dan anarkis (melanggar peraturan) tidak melihat sesuatu dalam sifatnya yang sebenarnya. Ini terjadi terutama di kalangan penduduk dusun-dusun kecil yang baru dikalahkan dan digencet dan sebagian dari kaum buruh industri dan pertanian yang masih muda yakni mereka yang baru dirampas miliknya.

Sebagaimana perbedaan tingkat dalam industrialisasi demikian pulalah perbedaan pikiran penduduk di berbagai daerah di Indonesia. Kita tunjukkan saja perbedaan kemajuan pikiran antara penduduk Jawa dan saudara-saudara kita di Halmahera, atau antara saudara-saudara yang ada di Surabaya dan Semarang yang telah sadar itu dengan penduduk desa yang tidak berindustri. Di mana kapitalisme tumbuh, serta berurat-berakar, di sana mulai hiduplah rasionalisme dan pikiran yang sehat serta lenyaplah dengan perlahan-lahan kepercayaan kepada segala takhayul. Jadi, psikologi dan ideologi jiwa dan akal rakyat bangsa Indonesia sejalan dengan kecerdasan kapitalisme yang senantiasa berubah-ubah. Yang lama lenyap dan yang baru menjadi cerdas.

Sukar sekali membawa sekalian perbedaan pikiran yang sedang dalam transformasi itu kepada satu cita-cita yang sama membangun dan tak berubah. Karena itu pekerjaan yang berat sekali bagi kaum revolusioner akan membawa seluruh rakyat Indonesia kepada garis-garis yang sesuai dan selaras dengan aksi-aksi marxistis. Ia mudah tergelincir menjadi tindakan cari untung, anarki, dan mempercayai jimat-jimat.

Sampai waktu ini belum ada satu partai yang pandai menarik satu garis yang cocok dengan keadaan-keadaan yang ada di Indonesia dan memimpin rakyat kita di sepanjang garis itu. Beberapa partai berturut-turut tersesat di jalan yang tidak membawa ke tujuan.

Mempercayai jalan parlementer yang tenteram, yakni meretas jalan kemerdekaan Indonesia dengan cara berebut kursi dalam Dewan Rakyat dan meminta-minta supaya diberikan kekuasaan politik, kita namai "percobaan untung-untungan" yang menyesatkan. Percobaan ini hanya dapat dipikirkan secara teoretis dan praktis di dalam negeri jajahan yang mempunyai borjuasi bumiputra. Kerja bersama yang jujur dengan golongan penjajah Belanda di luar atau di dalam Dewan Rakyat adalah pengkhianatan terhadap rakyat Indonesia.

Tidak dimaksudkan bahwa kita selamanya membelakangi Dewan Rakyat. Sebaliknya, bila besok atau lusa kita mendapat kesempatan melalui jalan pemilihan yang langsung untuk menduduki Dewan Rakyat, kewajiban kitalah memasukinya. Sungguh kita berbuat keliru dan penakut bila tidak bertindak begitu. Tetapi, belum semenit juga kita bermaksud bekerja bersama di dalam Dewan Rakyat dengan perampok gula, pencuri minyak dan penyamun getah, kita terpaksa memasukinya, menentang, melakukan aksi oposisi dengan penuh keberanian, dan memecahkan topeng mereka. Kita pergunakan Dewan Rakyat sebagai "Pengadilan Rakyat" dan kita rintangi tindakan pemerintah dari dalam. Dengan berbuat demikian, dapatlah kita sekadarnya mendidik rakyat yang tak boleh menulis dan bicara politik di luar Dewan Rakyat itu.

Mempergunakan cara yang sangat bertentangan dengan yang tersebut di atas, kita anggap suatu kebodohan pula karena lebih banyak merugikan usaha kemerdekaan seperti yang dipikir-pikirkan oleh kebanyakan bangsa kita. Selama seorang percaya bahwa kemerdekaan akan tercapai dengan jalan "putch" atau anarkisme, hal itu hanyalah impian seorang yang lagi demam. Dan pengembangan keyakinan itu di antara rakyat merupakan satu perbuatan yang menyesatkan, sengaja atau tidak.

"Putch" itu adalah satu aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak. Gerombolan itu bisanya hanya membuat rancangan menurut kemauan dan kecakapan sendiri tanpa memedulikan perasaan dan kesanggupan massa. Ia sekonyong-konyong keluar dari guanya tanpa memperhitungkan lebih dulu apakah saat untuk aksi massa sudah matang atau belum. Dia menyangka bahwa semua lamunannya tentang massa adalah benar sepenuhnya. Dia lupa atau tak mau tahu bahwa massa hanya dengar berturut-turut dapat ditarik ke aksi politik yang keras (secara modern!) dan pada waktu sengsara serta penuh reaksi yang membabi buta. "Tukang-tukang putch" lupa bahwa pada saat revolusi ini kapan aksi massa berubah menjadi pemberontakan bersenjata tak dapat ditentukan berbulan-bulan lebih dulu, sebagaimana yang dapat dilakukan oleh seorang "tukang-tenung". “Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai macam keadaan". Bila tukang-tukang "putch" pada waktu yang telah ditentukan oleh mereka sendiri, keluar tiba-tiba (seperti Herr Kapp tukang "putch" yang termasyhur itu), massa tidak akan memberikan pertolongan kepada mereka. Bukan karena massa bodoh atau tidak memperhatikan, melainkan karena "massa hanya berjuang" untuk kebutuhan yang terdekat dan sesuai dengan kepentingan ekonomi.

Tiada satu kemenangan politik pun, hingga sekarang, yang diperoleh massa (bukan oleh segerombolan militer!) jika tidak dengan aksi ekonomi atau politik! Kerapkali pada awalnya orang melalui jalan yang sah. Akan tetapi, karena tukang-tukang putch keluar dari jalan yang sah, yaitu tiba-tiba memakai kekerasan senjata penggempur pemerintah maka 99 dari 100 kejadian, mereka ditinggalkan oleh massa sebab mereka dari mula sudah memencilkan diri dari massa. Demikian juga, 99 dari 100 kejadian, "komplot" putch dapat diketahui musuh. Rancangan putch selamanya bocor karena setengah anggotanya tidak sabar dan mereka ceramah atau karena pengkhianatan anggota yang ketakutan. Atau gerakan mereka dapat dicium mata-mata yang mondar-mandir di mana-mana.

Membuat putch di negeri, seperti Indonesia (terutama di Jawa), di tempat kapital dipusatkan dengan rapinya dan dilindungi oleh militer dan mata-mata ala Barat yang modern – sebaliknya, rakyat masih mempercayai yang gaib-gaib, takhayul dan dongeng – samalah artinya dengan "bermain api": tangan sendiri yang akan hangus. Kaum anarkis yang biasanya berkata bahwa kekuasaan Barat yang kokoh ini dapat dirobohkan dengan beberapa butir telur "yang meletup" tidak lebih cerdik daripada seorang yang menembak batu dengan kepalanya.

Hanya "satu aksi massa", yakni satu aksi massa yang terencana yang akan memperoleh kemenangan, di satu negeri yang berindustri seperti Indonesia!

Aksi-Massa tidak mengenal fantasi kosong seorang tukang putch atau seorang anarkis atau tindakan berani dari seorang pahlawan. Aksi-massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka. Ia disebabkan oleh kemelaratan yang besar (krisis ekonomi dan politik) dan siap, bilamana mungkin, berubah menjadi kekerasan. Sebuah partai yang berdasarkan aksi massa yang tersusun pasti mampu membawa aksi massa yang memecah pelabuhan yang tenang dan aman.

Sebagian dari aksi massa menunjukkan dirinya dengan "pemogokan atau pemboikotan". Bila buruh yang berjuta-juta meletakkan pekerjaannya dengan maksud tertentu (menuntut keuntungan ekonomi dan politik) niscaya kerugian dan kekalutan ekonomi akibat aksi mereka dapat melemahkan kaum penjajah yang keras itu.

Menurut kekuatan dan kemenangan kita pada waktu itu, dapatlah kita memperoleh hak-hak politik dan ekonomi. Di India pemboikotan itu ternyata adalah pisau bermata dua. Di satu pihak ia sangat merugikan importir Inggris, di lain pihak ia memajukan perdagangan bumiputra. Di Indonesia ketiadaan kapital besar bumiputra yang penting itu memberatkan pemboikotan terhadap perdagangan asing.

Bukan saja kekuasaan besar itu disebabkan oleh ikhtiar mengumpulkan kapital yang diperlukan, tapi juga meneruskan pemboikotan itu. Kita mudah memperkirakan bahwa pemboikotan nasional Indonesia yang hebat dan keras sangat dibenci dan dimusuhi oleh imperialis Belanda yang buas, seperti dia membenci pemogokan umum.

Akan tetapi, pemboikotan di Indonesia bukanlah pekerjaan mustahil. Di Pulau Jawa dan di luarnya bukankah banyak kapital bumiputra kecil-kecil yang kalau dikumpulkan ke dalam koperasi nasional dapat melahirkan kapital yang sangat besar. Tapi ikhtiar yang serupa itu terlalu banyak meminta kesadaran, keaktifan dari seluruh lapisan penduduk Indonesia.

Pemboikotan pajak yang dianggap menjadi aksi itu di India tidak pernah dilakukan karena kekuatiran borjuasi terhadap akibat revolusioner. Di Indonesia pemboikotan pajak adalah sebuah senjata ekonomi politik yang sangat sakti.

Tetapi, perbuatan seperti itu berarti "melanggar undang-undang" dan hanya terjadi dalam keadaan-keadaan revolusioner di bawah pimpinan satu partai revolusioner yang kuat betul.

Bagian politik dari aksi massa menunjukkan diri dengan demonstrasi dan di India dengan keengganan kerja bersama mengandung maksud politik dan ekonomi, menagih pemerintahan sendiri (home rule) dari imperialisme Inggris. Bagian politiknya berupa tindakan meninggalkan hal-hal sebagai berikut:

1. badan-badan pemerintahan;

2. pengadilan pemerintahan;

3. sekolah-sekolah pemerintahan; dan

4. polisi dan tentara.

Tindakan yang keempat, karena takut kepada pemberontakan, tidak pernah dijalankan. Yang pertama sampai yang ketiga tidak cukup lama dilakukan dan tak cukup memberi hasil. Apakah di Indonesia dapat lebih lama dijalankan dan lebih berhasil daripada di India? Pertanyaan ini akan kita jawab kelak dalam satu pembicaraan yang khusus.

Demonstrasi politik ditunjukkan dengan massa yang berbaris di sepanjang jalan raya dan di gedung rapat, dengan maksud mengajukan protes dan memperkuat tuntutan politik dan ekonomi dan menunjukkan kepada musuh berapa besarnya kekuatan kita. "Bila semboyan dan tuntutan" sungguh diteriakkan oleh massa, demonstrasi politik dapat jadi gelombang hebat, yang makin lama semakin deras, kuat sehingga meruntuhkan benteng-benteng ekonomi dan politik dari kelas yang berkuasa.

Di negeri yang berindustri seperti Indonesia, "aksi-massa", yakni boikot, mogok dan demonstrasi, boleh dipergunakan lebih sempurna sebagai senjata yang lebih tajam (di India tidak terjadi sebab bumiputra yang berkapital takut pada pemogokan umum dan kekuasaan politik dari kaum buruh, ketakutan yang tak berbeda dengan borjuasi Inggris!).

Bila sebuah partai revolusioner berhasil mengerahkan kaum buruh yang berjuta-juta agar meninggalkan pekerjaannya dan yang bukan buruh agar tak mau bekerja sama serta seluruh rakyat berdemonstrasi untuk menuntut hak ekonomi dan politik tanpa melempar sebutir kerikil pun kepada pegawai pemerintah, niscaya akibat politik moral dari aksi itu sangat besar artinya. Ia akan mendatangkan keuntungan dalam perjuangan politik dan ekonomi lebih besar daripada seratus Pemberontakan Jambi atau huru-hara, pembunuhan yang aneh-aneh dan dikerjakan oleh anggota-anggota "bagian B" dan tukang-tukang putch yang gagah. Kita tidak boleh melupakan bahwa aksi yang akan kita lakukan itu sekarang dilarang oleh undang-undang tetapi, tidak ada alasan bagi kita untuk meninggalkan jalan satu-satunya itu.

Tambahan pula, menjadi pertanyaan besar, apakah pemerintah dapat mempertahankan larangan itu, sekurang-kurangnya jika tidak lekas patah arang oleh kekalahan kecil seperti yang sudah-sudah. Hak-hak manusia yang asli seperti mogok (menolak penjualan tenaga sendiri), boikot (menolak kerja bersama, membeli atau menjual barang-barang) dan hak berdemonstrasi (mengumumkan cita-cita) akan lenyap selama-lamanya dari bangsa Indonesia kalau di belakang tiap-tiap orang Indonesia berdiri seorang serdadu imperialis yang bersenjata.

Kelebihan aksi massa daripada putch, ialah bahwa dengan aksi massa perjuangan kita dapat dijaga, sedangkan dengan putch, kita memperlihatkan iri kepada musuh. Di dalam aksi massa, pemimpin boleh berjalan sekian jauh menurut kepatutan yang perlu di waktu ini. Ia selamanya dapat menentukan berapa jauh ia boleh mengadakan tuntutan politik dan ekonomi tanpa tidak menanggung kerugian besar (pengorbanan mesti ada dalam tiaptiap aksi massa). Dan ia tidak kehilangan hubungan dengan massa. Demikian pun, hubungan antara massa itu sendiri tidak putus. Dengan serangan sekonyong-konyong, yaitu tindakan keras tukang-tukang putch yang disengaja terhadap musuh, mereka dari awalnya gampang diserang musuh. Pemimpin aksi massa dengan memegang "peta perjuangan" di tangannya dapat mempermainkan musuh dengan jalan maju selangkah-selangkah dan kemudian sekali menggempur habis-habisan.

Aksi massa membutuhkan pemimpin yang revolusioner, cerdas, tangkas, sabar dan cepat menghitung kejadian yang akan datang, waspada politik. Ia harus juga bekerja dengan kekuatan nasional yang sudah ada dan tidak mengharapkan kekuatan yang sekadar lamunan. Selanjutnya, ia harus mengetahui tabiat massa yang dipimpinnya (mengetahui waktu dan cara bagaimana reaksi rakyat terhadap kejadian-kejadian politik dan ekonomi).

Ia harus pandai pula bersemboyan yang menyemangatkan rakyat sehingga mengubah "kemauan massa" menjadi "tindakan massa". Selain itu, kedudukan politik dan ekonomi mesti diketahuinya betul-betul dan ia harus pula pandai mempergunakannya tanpa ragu-ragu. Disebabkan kelas yang berkuasa (pemerintah) mempunyai laskar yang lengkap dan senantiasa siap siaga maka kecakapan dan ketangkasan pemimpin gerakan modern aksi massa mesti mempunyai pengetahuan yang praktis tentang politik dan ekonomi dari negeri serta psikologi rakyat dan kemudian pandai memperhitungkan kejadian kejadian politik yang akan terjadi. Terlebih lagi, pemimpin itu harus dapat mempergunakan "waktu" dengan cepat dan benar, juga mempergunakan sekalian pertentangan di dalam masyarakat kapitalistis (juga di dalam laskar) yang dapat mendatangkan keuntungan.

Jadi, kalau "tenaga bodoh" (seperti di zaman feodal) dapat mengadakan putch, seorang pemimpin pergerakan massa yang modern haruslah seorang manusia cerdas dan bijaksana.


(isi diluar tanggung jawab saya karena semata-mata hanya untuk meneruskan informasi, jika terdapat kesalahan penulisan/pengartian/kosakata maka yang digunakan sebagai rujukan utama adalah buku "Aksi Massa" oleh Tan Malaka terbitan Teplok Press, 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar