09 Desember 2022

Aksi Massa : Tan Malaka [8]

 

b. Filipina

Keadaan di Filipina berlainan sedikit dengan di India. Bangsa Amerika datang, pada tahun 1898, waktu bangsa Filipina telah "tiga perempat berhasil" melemparkan kekuasaan Spanyol. Awalnya Amerika berlaku sebagai kawan, tetapi setelah kokoh pendiriannya dia tinggal terus dalam negeri itu. Perang Filipina-Amerika yang 33 tahun lamanya (1898-1901) tak berhasil menghalau pencuri itu. Sebelum kedatangan Amerika, bangsa Filipina sudah dapat menunjukkan beberapa nasionalis besar seperti Dr. Rizal (yang ditembak orang Spanyol dari belakang); seorang organisator, Bonifacio, seorang diplomat Mahbini dan panglima perang Luna serta Aquinaldo.

Karena itu perlulah dipakai suatu tipu daya yang sangat fisik untuk mengelabui mata sebuah bangsa yang gagah lagi cerdik, seperti rakyat Filipina itu.

Disebabkan oleh kebesaran dan kekayaan Amerika dan oleh salah satu paham anti-imperialisme di antara bangsa Amerika yang berpengaruh, dengan segera kaum imperialis mengerjakan islah. Politik dalam negeri, dengan perantara "Senat" dan "House of Representative", sekarang boleh dikatakan ada di dalam tangan bumiputra. Semua wakil dari kedua dewan itu — kecuali dari beberapa daerah Islam — dipilih dengan hak memilih yang sepenuh-penuhnya dan semuanya adalah orang Filipina. Sebagian besar gubernur dari daerah-daerah adalah juga orang Filipina. Hanya beberapa kepala departemen saja orang Amerika. Di dalam satu konstitusi, Amerika mesti berjanji akan memberikan "kemerdekaan" yang seluas-luasnya "kepada bangsa Filipina setelah mereka dapat menunjukkan kecakapan mendirikan pemerintahan yang tetap".

Sekolah rendah diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan mementingkan pertanian.

Perusahaan yang menjadi pokok dari ekonomi Filipina sekarang dipegang oleh bumiputra sepenuhnya. Beberapa pabrik, rumah-rumah perdagangan dan maskapai-maskapai kapal adalah kepunyaan atau dipimpin oleh orang Filipina. Empat buah Universitas dan beberapa sekolah tinggi setiap tahun meluluskan putera dan puteri Filipina dalam jumlah besar untuk mempertahankan bangsa yang 12,000,000 jiwa itu dari tipu daya dan kecurangan Amerika.

Hanya sedikit sekali penduduk yang buta huruf. Boleh dikatakan semua anak-anak masuk sekolah. Hingga sampai ke sudut-sudut yang jauh, selain dari bahasa sendiri, pemuda-pemudanya mengerti bahasa Inggris.

Biarpun perguruan di sana tak menyenangkan hati seorang Belanda yang terpelajar seperti Dr. Nieuwenshuis - yang tentu sekali akan selamanya menjilat-jilat kudis pemerintahannya sendiri, sambil menghinakan perbuatan orang lain, tetapi karena ketinggian intelek Filipina, orang-orang Amerika yang hebat dan kaya-kaya itu tak dapat berbuat sesuka hatinya sendiri.

Sebab Amerika pada tahun 1925 mesti membayar harga karet f 540,000,000 lebih banyak daripada tahun 1924 kepada Inggris, timbullah pikiran orang Amerika untuk membuka kebun di Filipina Selatan yang tanahnya bagus buat karet.

Tetapi pemimpin-pemimpin Filipina bekerja keras untuk menghindari terkaman "serigala-karet" bangsa Amerika. Sebelum mereka bertindak lebih jauh buat memperoleh tanah yang luas untuk kebun karet, dalam konsesi — berkat usaha pemimpin-pemimpin Filipina, anggota Senat dan House dengan hukum tanah (landwet)-nya yang lama ditentukan bahwa "tidak lebih dari 2500 acres (satu acre 4840 yard persegi) yang boleh disewakan kepada orang asing. Belum berapa lama berselang serigala karet itu, dengan perantaraan Firestone datang meminta konsesi untuk kebun karet itu. Mereka disambut dengan perkataan bahwa hukum tanah Filipina "tidak memberi izin".

Pemimpin-pemimpin Filipina berpendapat bahwa apabila Amerika menanam kapitalnya di Filipina, selain rakyat segera akan menjadi sengsara (seperti di Jawa) juga Amerika akan mendapat satu alasan untuk merintangi kemerdekaan Filipina. Imperialisme Amerika yang tidak kurang cerdiknya dari imperialisme Anglosakson bukankah kelak dapat mengatakan, bahwa satu kegoncangan boleh jadi akan muncul karena kepergian Amerika yang belum pada waktunya? Kepentingan-kepentingan Amerika membahayakan di Filipina.

Inilah sebabnya maka pemimpin-pemimpin Filipina dengan tergesa-gesa mengeluarkan hukum tanah tersebut dari kitab undang-undang dan membeberkannya kepada seluruh rakyat... Layaknya sebuah kampung kedatangan seekor macan.

Sebuah bangsa yang sudah terbuka matanya seperti Filipina, tambahan pula diberi wawasan oleh surat-surat kabar bumiputra (disebabkan sekolah tinggi yang dikutuki Dr. Nieuwenshuis yang terpelajar itu!), dapat melihat dan melaksanakan kebenaran dari pemimpin-pemimpinnya. Dengan diiringi oleh seluruh rakyat, dapatlah pemimpin-pemimpin Filipina setiap waktu memanah serigala karet imperialisme Amerika dengan panah hukum tanah yang liat itu.

Tidak seorang pun yang mencela sistem perguruan yang tidak nasional itu selain dari pemimpin-pemimpin Filipina sendiri. Selain itu pun ada kesulitan-kesulitan untuk mengambil peran perdagangan dari bangsa asing. Tetapi semuanya mereka sekata (semufakat) bahwa sistem perguruan yang sehat dan perubahan ekonomi yang sebaik-baiknya hanya dapat dilakukan dengan sempurna setelah tercapai kemerdekaan bangsa. Dan di sudut dunia manakah hal itu dipandang secara berlainan? Adanya Gubernur Jendral yang mempunyai hak mencegah (recht van veto) menjadi rintangan bagi islah ekonomi yang semata-mata bagi bangsa Filipina. Itulah sebabnya, saudara-saudara kita di sebelah utara sana masih terus berjuang semata-mata untuk kemerdekaan yang seluas-luasnya.

Konsesi yang besar-besar, yang dengan terpaksa diberikan oleh Amerika mulai 25 tahun yang silam tak dapat mendinginkan sanubari bangsa Filipina untuk merampas hak kelahiran dan kemerdekaannya.

Seandainya yang dipertuan bangsa Filipina bukan Amerika (satu negeri yang terkuat dan terkaya di atas dunia), tetapi "perampok di tepi Laut Utara (Belanda) yang termashur itu", niscaya telah lama yang dipertuan itu dihalau mereka masuk ke dalam neraka.

Inggris menguasai karet lebih dari dua pertiga dan Amerika memakai 72 % dari hasil dunia. Disebabkan masih berlakunya "Stevenson Rubber Restriction's policy", tuan-tuan kebun dan mereka yang mempunyai monopoli, bangsa Inggris sajalah yang menguasai karet sedunia ini — verslag kamer van koophandel Amerika yang diumumkan dalam Manila Tribune, 26 Juli '25.

 

c. Indonesia

Keadaan India dan Filipina yang saya kemukakan di atas, saya maksudkan untuk menambah pengetahuan kita tentang imperialisme.

Perihal Indonesia, sekarang dan nanti, akan kita uraikan di belakang dengan panjang lebar. Setelah memperhatikan semua yang diuraikan di atas, niscaya tak sudah bagi pembaca untuk mengartikan perampokan, pembakaran, dan pembunuhan yang dilakukan orang Belanda. Karena itu, kita tidak akan berlama-lama menggambarkan hongi-hongi (merica di Ambon), kebun kopi yang sekarang dipanggil penanam merdeka. Semuanya telah terkenal dan dikutuki oleh setiap manusia yang berotak.

Jauh dari maksud kita mengatakan bahwa sekalian kejadian itu adalah semata-mata perbuatan "manusia" Belanda. Kita sendiri telah cukup mengenal pekerti dan tabiat bangsa Belanda. Tetapi lagak dan lagu imperialisme Belanda menjadikan seorang bangsa Belanda seperti yang kita kenal dulu dan sekarang — jahat dan bengis.

Tatkala Belanda mengarahkan kapal pembajaknya ke Indonesia, waktu itu negeri mereka hanyalah negeri tani dan tukang warung kopi yang kecil-kecil.

Juga sekarang negeri itu masih tetap tinggal sebagai negeri tani dan saudagar. Dan ia tidak akan menjadi lain, karena ia tak mempunyai bahan dasar untuk industri besar, yakni arang, besi dan kapas. Sekiranya negeri Belanda tidak mempunyai tanah jajahan niscaya ia tak dapat menyamai Belgia atau Swedia.

Setinggi-tingginya ia hanya satu negeri tani dan saudagar-saudagar kecil yang sunyi seperti Denmark.

Dengan keberanian dan kemauan seorang bajak laut serta ketamakan seorang tukang warung kopi yang kecil, habislah sekalian hasil negeri Indonesia dirampasnya. Tak ada sebutir batu pun untuk perumahan ekonomi bumiputra yang ketinggalan. Bagaimana mungkin kita harapkan pemerintahan bijaksana dari bajak laut, tukang warung kecil ini ! (Hoe kan men okk vooruitziensheid en staatsmanschap van een piraat – kruidenier verwachten!).

Sebelum datang Kompeni Hindia-Timur, orang Tionghoa, Hindu-Arab (lama-kelamaan) menjadi orang Jawa atau setidak-tidak terus tinggal di negeri ini, tetapi bangsa Belanda datang ke Indonesia dan balik ke negerinya dengan karung yang penuh berisi. Di sana dihambur-hamburkan uang Indonesia dan di sanalah mereka menyedot dana pensiunnya dari peti uang Indonesia. Akibatnya, bocor dan keringlah ekonomi Indonesia!

Sekiranya negeri Belanda adalah sebuah negeri industri yang maju niscaya lambat laun terpaksalah ia seperti Inggris dan Amerika, memakai politik yang lain.

Ia tentu akan memakai politik liberal terhadap orang Jawa atau Indo-Jawa serta bangsawan Jawa. Dengan demikian, kemajuan politik dan ekonomi sebagai sekarang terjadi di Filipina dan India, boleh juga terjadi di Indonesia. Biarpun Belanda semenjak 20 tahun belakangan ini mulai mengindustrialisasi Indonesia, tetapi tujuannya tetap monopoli. Kapitalnya tetap kapital luar negeri.

Jurang antara penjajah dan si terjajah sekarang masih tetap sebagai di zaman Daendels dan van den Bosch. Hanya suara revolusi yang gemuruh sajalah yang dapat menimbun jurang yang dalam itu.

Tetapi agaknya oleh karena hal inilah maka Indonesia dan negeri-negeri Asia yang lain kelak memberi selamat kepada imperialisme yang dipertahankan Belanda itu. Sebab dari pertentangan sosial yang tajam di Indonesia itu, satu masa niscaya akan timbul kodrat baru yang dapat melepaskan Indonesia dan seluruh Asia dari tindakan Barat untuk selama-lamanya.


(isi diluar tanggung jawab saya karena semata-mata hanya untuk meneruskan informasi, jika terdapat kesalahan penulisan/pengartian/kosakata maka yang digunakan sebagai rujukan utama adalah buku "Aksi Massa" oleh Tan Malaka terbitan Teplok Press, 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar