I.
REVOLUSI
Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa, dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Kecakapan dan sifat luar biasa dari seseorang dalam membangun revolusi, melaksanakan atau memimpinnya menuju kemenangan, tak dapat diciptakan dengan otaknya sendiri. Sebuah revolusi disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat. Atau dalam kata-kata yang dinamis, dia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam. Ketajaman pertentangan yang menimbulkan pertempuran itu ditentukan oleh pelbagai macam faktor : ekonomi, sosial, politik, dan psikologis. Semakin besar kekayaan pada satu pihak semakin beratlah kesengsaraan dan perbudakan di lain pihak. Pendeknya semakin besar jurang antara kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah, semakin besarlah hantu revolusi. Tujuan sebuah revolusi ialah menentukan kelas mana yang akan memegang kekuasaan negeri, politik dan ekonomi, dan revolusi itu dijalankan dengan “kekerasan”.
Di
atas bangkai yang lama berdirilah satu kekuasaan baru yang menang. Demikianlah,
masyarakat feodal didorong oleh masyarakat kapitalistis dan yang disebut
mempunyai lebih akhir ini sekarang berjuang mati-matian dengan masyarakat buruh
yang bertujuan mencapai “satu masyarakat komunis yang tidak mempunyai
kelas”, lain halnya jika semua manusia
yang ada sekarang musnah sama sekali tentulah terjadi proses : weden
undvergehen, yakni perjuangan kelas terus-menerus hingga tercapai pergaulan
hidup yang tidak mengenal kelas (menurut paham Karl Marx).
Di
zaman purba waktu ilmu (wetenschap) masih muda, semua perjuangan dalam
kegelapan (kelas-kelas) diterangi (dibereskan) oleh agama yang bermacam-macam;
perjuangan golongan menyerupai keagamaan, umpamanya pertentangan Brahmanisme
dan Budhisme, Ahriman, Zoroastria dengan Ormus (terang dengan gelap), Mosaisme
dengan Israilisme, kemudian Katholisme dengan Protestanisme. Akan tetapi, pada
hakikatnya semuanya itu adalah perjuangan kelas untuk kekuasaan ekonomi dan
politik.
Kemudian
sesudah ilmu dan percobaan menjadi lebih sempurna, sesudah manusia melemparkan
sebagian atau semua “kepicikan otak” (dogma), setelah manusia menjadi cerdas
dan dapat memikirkan soal pergaulan hidup, pertentangan kelas disendirikan
kepada pengetahuan yang nyata. Dalam perjuangan untuk keadilan dan politik,
manusia tidak membutuhkan atau mencari-cari Tuhan lagi, atau ayat-ayat kitab
agama, tetapi langsung menuju sebab musabab nyata yang merusakkan atau
memperbaiki kehidupannya. Di seputar ini sajalah pikiran orang berkutat dan ia
dinamakan cita-cita pemerintahan negeri. Kepada masalah itulah segenap
keaktifan politik ditujukan.
Tatkala
kehidupan masih sangat sederhana dan terutama tergantung kepada pekerjaan
tangan dan pertanian, pendeknya di zaman feudal, seorang yang mempunyai darah
raja-raja, biarpun bodohnya seperti kerbau, “boleh menaiki singgasana dengan
pertolongan pendeta dan bangsawan”, menguasai nasib berjuta-juta manusia.
Cara
pemerintahan serupa itu menjadi sangat sempit tatkala teknik lebih maju dan
feodalisme yang sudah bobrok itu pun merintangi kemajuan industri. Kelas baru,
yaitu “borjuasi” yang menguasai cara penghasilan model baru (kapitalisme),
merasa tak senang sebab ketiadaan hak-hak politik. Mereka meminta supaya
pemerintahan diserahkan kepada mereka yang lebih cakap dan pemerintah boleh
“diangkat” atau “diturunkan” oleh rakyat. Cita-cita politik borjuasi adalah
demokrasi dan parlementarisme. Ia menuntut penghapusan sekalian hak-hak feodal
dan juga menuntut penetapan sistem penghasilan dan pembagian (distribusi yang
kapitalis).
Tatkala
raja dan para pendetanya tetap mempertahankan hak-haknya hancurlah mereka dalam
nyala revolusi. “Revolusi borjuasi” tahun 1789 sebagai buah pertentangan yang
tak mengenal lelah antara feodalisme dengan kapitalisme menjadikan negeri
Prancis sebagai pelopor sekian banyak revolusi yang kemudian berturut-turut
pecah di seluruh Eropa.
Nasib
raja Prancis (yang digulingkan) diderita juga oleh raja Rusia yang mencoba-coba
mengungkung borjuasi dan buruh dengan perantaraan kesaktian takhayul dan
kekerasan di dalam sekapan feodalisme yang lapuk itu.
Cita-cita
revolusioner berjalan terus tanpa mengindahkan adanya pukulan, peluru dan
siksaan yang tak terlukiskan walaupun dengan pena pujangga Dostoyevsky. Di
dalam gua-gua yang gelap, di dalam tambang-tambang di Siberia, di dalam penjara
yang mesum, dingin dan sempit itu, angan-angan dan kemauan revolusioner
memperoleh pelajaran yang tak ternilai. Kerajaan, gereja dan Duma (parlemen di
Rusia) dalam waktu yang singkat habis disapu oleh gelombang revolusioner yang
tak terbendung. Dalam revolusi buruh bulan November 1917 kelihatan bahwa kelas
buruh mempunyai kekuatan dan kemauan yang melebihi borjuasi.
Raja
Inggris, George III, yang tak mengindahkan riwayat negerinya sendiri menyangka
bahwa armada yang kuat dan kebesaran kekayaannya dapat merintangi tumbuhnya
kesosialan. Bangsa Amerika Utara dengan tak mengindahkan jumlahnya yang kecil,
kurangnya pengalaman dalam soal penerangan, uang dan lain-lain alat material,
dapat mencapai kemerdekaannya sesudah mengadakan perlawanan habis-habisan yang
tak kenal lelah itu.
Baru
setelah kungkungan ekonomi dan politik berhasil diputuskan dari imperialisme
Inggris, dapatlah Amerika Utara melangkah menuju kekayaan kekuasaan dan
kebudayaan yang sungguh tiada dua dalam riwayatnya.
Seandainya
ia belum kembali dua kali menceburkan diri kedalam revolusi (pada tahun 1860),
Amerika Utara tak akan dikenal dunia selain sebagai Australia dan Kanada.
Revolusi
sosial bukanlah semata-mata terbatas di Eropa saja, tetapi merupakan kejadian
umum yang tidak bergantung kepada negeri dan bangsa. Tidaklah Jepang 60 tahun
yang lalu (1868) menghancurkan sekalian hak-hak feodal dengan perantaraan
revolusi? Sesudah kejadian itu, lenyaplah Kerajaan Matahari Terbit.
Pendeknya
dengan jalan revolusi dan perang kemerdekaan nasional-lah (yang dapat
dimasukkan dalam revolusi sosial!), maka sekalian negeri besar dan modern tanpa
kecuali, melepaskan diri dari kungkungan kelas dan penjajahan.
Revolusi
bukan saja menghukum sekalian perbuatan ganas, menentang kecurangan dan
kelaliman, tetapi juga mencapai segenap perbaikan dari kecelaan.
Di
dalam revolusilah tercapai puncak kekuatan moral, terlahir kecerdasan pikiran
dan teraih segenap kemampuan untuk mendirikan masyarakat baru.
Satu
kelas dari suatu bangsa yang tidak mampu mengenyahkan peraturan-peraturan kolot
serta perbudakan melalui revolusi, niscaya musnah atau terkutuk menjadi budak
abadi.
Revolusi adalah mencipta!
(isi diluar tanggung jawab saya karena semata-mata hanya untuk meneruskan informasi, jika terdapat kesalahan penulisan/pengartian/kosakata maka yang digunakan sebagai rujukan utama adalah buku "Aksi Massa" oleh Tan Malaka terbitan Teplok Press, 2000)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar