Aksi Massa
Tan Malaka (1926)
*****
Ditulis oleh Tan Malaka pada tahun 1926 di Singapura
Sumber : Diambil dari buku "Aksi
Massa" terbitan Teplok Press, 2000
Dimuat ke HTML oleh Ted Crawford dan Ted Sprague
*****
DAFTAR ISI
II. IKHTISAR TENTANG RIWAYAT INDONESIA
1. Pengaruh Luar Negeri
2. Bangsa Indonesia yang Asli
4. Kengundahan (Pesimisme) Empu
Sedah
6. Diponegoro
III. BEBERAPA MACAM IMPERIALISME
1. Berbagai Cara Pemerasan dan
Penindasan
2. Sebab-Sebab Perbedaan
3. Akibat dari Berbagai Macam Cara Pemerasan dan Penindasan
c. Indonesia
1. Kapitalisme yang Masih Muda
2. Tumbuh Dengan Tidak Semestinya
3. Kapital Indonesia Itu Internasional
1. Kemelaratan
3. Kelaliman dan Perbudakan
1. Tinjauan ke Belakang
a. Pokok Undang-Undang Minangkabau
b. Perwakilan Rakyat atau Soviet
2. Dewan “Rakyat” Kita!
3. Harapan kepada Badan Perwakilan Rakyat
1. Kemungkinan Besar Akan
Timbulnya Revolusi
2. Sifat Revolusi Indonesia yang Akan Timbul
1. Partai dan Sifat-Sifatnya
2. Program Nasional Kita
3. Tugas dan Organisasi Partai
X. SEKILAS TENTANG GERAKAN
KEMERDEKAAN DI INDONESIA
1. Kegagalan Partai Borjuis
a. Budi Utomo
b. National Indische Party
c. Sarekat Islam
2. Bagaimana Sekarang?
3. De Indonesische Studieclub
XI.
FEDERASI REPUBLIK INDONESIA
XII. KHAYALAN SEORANG REVOLUSIONER
LAMPIRAN : RANCANGAN UNTUK PROGRAM PROLETAR DI INDONESIA
*****
PENGANTAR PENULIS
Alles was besteht ist wert,
Dass es zu Gruende geht.
(Mephistopheles)
Asia sudah bangun!
Lambat laun bangsa-bangsa Asia yang terkungkung itu tentu akan memperoleh kebebasan dan kemerdekaan. Tetapi tidak ada seorangpun yang dapat mengatakan bilamana dan dimana bendera kemerdekaan yang pertama akan berkibar. Siapa yang menyelidiki sedalam-dalamnya perekonomian Timur, politik dan sosiologi akan dapat menunjukkan halkah rantai yang selemah-lemahnya dalam rentengan rantai panjang yang mengikat perbudakan Timur. Indonesialah halkah rantai yang lemah itu. Di Indonesia benteng imperialisme Barat yang pertama dapat ditempur dengan berhasil.
Imperialisme Belanda lebih tua dan lebih kuno daripada imperialisme Inggris dan Amerika, dipisahkan oleh satu lembah yang tak dapat diseberangi dari jajahannya. Negeri Belanda, karena tidak mempunyai bahan-bahan untuk industrinya, dari dahulu hanya mengusahakan pertanian dan perdagangan.
Penjabaran kapitalnya dari permulaan abad ini ke seluruh Inddonesia sangat luasnya.
Pusat industri Belanda sekarang terletak di Indonesia, sedang pusat perdagangan dan keuangannya ada di negeri Belanda. Bankir, industrialis dan saudagar tinggal di negeri Belanda, sedang buruh dan tani di Indonesia. Jika kita perhatikan kedua lautan yang memisahkan Belanda dengan Indonesia itu, serta tidak pula kita lupakan perbedaan bangsa, agama, bahasa, adat-istiadat antara penjajah dan si terjajah, antara pemeras dan si terperas, tampaklah kepada kita satu perbandingan dari pergaulan yang luar biasa di dunia imperialisme waktu sekarang. Luar biasa, sebab kaum modal bumiputra tak ada. Jadi, titian antara negeri Belanda dengan Indonesia putus sama sekali.
Ketiadaan kaum modal bumiputra yang sifatnya hampir bersamaan dengan imperialisme Belanda (sama-sama mau menggencet buruh dan tani) menyebabkan imperialisme Belanda sukar sekali membereskan krisis ekonomi di Indonesia. Dimanakah ada di Indonesia tuan-tuan tanah bumiputra seperti di Mesir, India dan Filipina yang dapat menunjang kaum imperialisme untuk membela kepentingan-kepentingan ekonomi mereka? Dan dimanakah ada kaum modal bumiputra yang kuat, yang meminta-minta kekuasaan dalam politik perekonomiannya seperti di India?
Tuan-tuan tanah Indonesia yang sedikit berarti telah lama menjadi gembala, kuli atau kuli tinta! Bangsa-bangsa Eropa, Tionghoa, dan Arab menguasai semua perdagangan besar, menengah ataupun kecil! Bangsa Indonesia yang menengah atau yang kecil telah lenyap dari Pulau Jawa sejak beberapa tahun yang silam oleh pemasukan barang-barang pabrik dari Eropa.
Soal perguruan dengan sengaja dilengahkan oleh Belanda, kaum intelektual jadi kurang. Sebab itu, kendatipun kaum saudagar bumiputra seperti India, mau menyokong mereka mendirikan industri, toh tidak akan berhasil.
Sebab ketiadaan kaum modal tuan tanah bumiputra itu, maka setiap aksi parlementer dari partai nasional manapun tidak berguna.
Bagaimanakah “bapak gula” dan “nenek minyak” di negeri Belanda akan dapat memberikan hak pemilihan umum kepada bangsa Indonesia? Atau dengan lain arti : mempercayakan kekuasaan politik kepada wakil-wakil tani dan buruh yang miskin? Jika sekiranya di belakang kaum intelektual, berdiri tuan-tuan tanah dan kaum modal bumiputra yang akan mereka wakili di parlemen, tentulah akan berlainan keadaan itu. Dan cakap angin tentang “perubahan dalam pemerintahan Indonesia” ada juga artinya sedikit. Imperialis Belanda berangsur-angsur, lambat laun dapat menyerahkan pemerintahan itu kepada bangsa Indonesia yang cakap dan jujur. Bukankah melindungi modal bumiputra, sebagian juga berarti melindungi modal bangsa asing? Di dalam nisbah sekarang ini nyatalah bahwa flap pemerintahan bangsa Indonesia haruslah tunduk kepada kemauan modal asing yang besar-besar. Dan pemerintahan seperti itu tak akan diakui sebagai berasal dari rakyat dan oleh rakyat!
Pendeknya, Indonesia tak mempunyai faktor-faktor ekonomi, sosial maupun intelektual untuk melepaskan diri dari perbudakan ekonomi dan politik di dalam lingkungan imperialisme Belanda. Bersamaan dengan itu, kesempatan untuk mencapai kemerdekaan dalam arti yang seluas-luasnya dengan jalan menguasai setengah, tiga perempat, hingga tujuh perdelapan parlemen lenyap untuk selamanya. Impian seorang makhluk seperti Notosuroto yang mengangan-angankan Nederlandia Raja akan tetap menjadi lamunan orang yang fasik.
Indonesia dapat menaikkan ekonominya jika kekuasaan politik ada di tangan rakyat. Dan Indonesia akan mendapat kekuasaan politik tidak dengan jalan apapun, kecuali dengan aksi politik yang revolusioner lagi teratur, dan yang tidak mau tunduk.
Dewan rakyat kadang-kadang boleh dimasuki! Tetapi bukan dipergunakan sebagai senjata yang sah untuk memperoleh pemerintahan nasional yang bertanggung jawab penuh dengan perantaraan Dewan Rakyat bekerjasama dengan imperialis Belanda. Tetapi guna mengembangkan usaha revolusioner hingga kedalam kamar-kamar diperoleh dengan perantaraan aksi-aksi parlementer samalah dengan seseorang di Gurun Sahara yang membum fatamorgana. Tetapi siapa yang mempergunakan sekalian pengetahuannya untuk aksi massa yang teratur, niscaya memperoleh kemenangan itu seumpama “ayam pulang ke kandangnya”.
Soal kemerdekaan Indonesia bukanlah satu soal yang terbatas di Indonesia saja, yang dapat dipecahkan dengan perantaraan kongres dan putusan-putusan yang lembek di Dewan Rakyat, jangan dikata lagi dengan perantaraan kelakar-kelakar dan kebudayaan di warung kopi. Soal itu mempunyai hubungan yang sangat rapat dengan kekuasaan Barat terhadap bangsa berwarna di benua Timur.
Salah
satu sebab – dan ini bukan sebab yang kecil – mengapa Amerika tidak juga
memberikan kemerdekaan yang seluas-luasnya kepada orang Indonesia Utara
(Filipina) yang menurut perkataan kawan ataupun lawannya telah lama matang
(seperti kata surat-surat kabar imperialisme Amerika di Manila) adalah bahwa
kemerdekaan Filipina berarti suatu pemberontakan dan penyembelihan di Asia melawan
kekuasaan kulit putih (a general revolt in Asiatic countries against white
authority, uprising being attended by slaughter). Kelepasan Indonesia
(pusat arti ilmu bumi dan peperangan Asia, penduduk lima kali lebih besar dari
Filipina dan dengan perdagangan internasional) mustahil tidak berarti sebagai
satu pistol yang ditujukan kepada kekuasaan Barat terutama Inggris di Asia.
Belum
lama ini bekas putra mahkota Wilhelm menerangkan kepada seorang wakil dari
United Press di Locarno yang diumumkan oleh radio ke seluruh dunia, bahwa bila
manusia yang berjuta-juta di Asia pada suatu hari bergerak memukul Anglosakson
(Inggris, Prancis, dan Belanda) niscaya bangsa Melayulah yang pertama kali akan
menyebabkan kesusahan. Pengharapan imperialistis dan sindiran macam apakah yang
dimaksud putra mahkota yang senewen itu, bagi kita tetap nyata : bahwa
Indonesia sekarang bukan Indonesia yang beberapa tahun yang lalu. Indonesia
telah mengambil tempat yang penting dalam barisan berjuta-juta manusia di Asia.
Karena
itu, kemenangan yang diperoleh dengan jalan damai dan parlementer sama sekali
tak boleh dipikirkan. Bukankah hal serupa itu tepat mengganggu ketenteraman
kapitalis di Timur? Bila suatu hari Indonesia terlepas dan mempertahankan
kemerdekannya dari musuh-musuh dalam dan luar negeri, tentulah hal tersebut
ditentukan oleh kodrat revolusioner, yakni yang disebabkan oleh aksi massa
: dari massa dan untuk massa.
Kalau
penjajahan Belanda selama 300 tahun itu tidak berupa perampokan (membunuh habis
industri bumiputra) niscaya derajat kaum intelektual kita jauh berbeda dari
keadaan sekarang! Dan kita tentulah mempunyai semangat kecerdasan
(inteligensia) yang menurut asal, didikan dan perasaan menjadi pemuka dari
tuan-tuan tanah, industry, saudagar dan pegawai bumiputra. Pun juga akan timbul
pergerakan demokrasi dan kemerdekaan nasional yang bersifat kerja sama
(kompromis) dengan bangsa Belanda atas pertolongan buruh dan tani seperti di
India, Mesir dan Filipina lebih kurang.
Atas
ketiadaan kaum modal bumiputra, intelegensia kita tak kuat berdiri. Ia
melayang-layang di antara rakyat dengan pemerintah. Ia tidak mempunyai perasaan
ingin mengorbankan diri seperti yang ditunjukkan nasionalis di negeri-negeri
lain. Ia tidak mempunyai alat-alat perasaan, pemikiran yang mendekatkan dirinya
kepada masyarakat (rakyat murba). Disebabkan imperialis, kaum intelektual kita
jauh dari massa.
Mereka
tidak mempunyai satu kesaktian yang dapat mempengaruhi dan menarik hati rakyat.
Kaum intelektual kita tidak beroleh kepercayaan dan simpati massa untuk
menggerakan mereka, membuat aksi-aksi serta memimpin mereka. Tambahan lagi,
sebab jumlah kaum terpelajar yang tidak seberapa, mereka masih tinggal di dalam
kelas mereka dan belum menjadi buruh terpelajar.
Untuk
sementarta waktu, dapatlah mereka menonton dari jauh. Lain halnya kalau jumlah
mereka banyak, tentulah mereka akan luntang-lantung dan merasakan kemelaratan
sebagai buruh industri dengan penuh “kegembiraan “ dalam medan perjuangan.
Kecepatan
timbulnya kelas intelektual, kekecewaan terhadap Budi Utomo (B.U.) dan National
Indische Party (N.I.P.) serta kekejaman reaksi, mencakar pemandangan mereka ke
jurusan yang lain. Sungguhpun masih sangat lambat dan masih berdiri beberapa
pal (a pal = 1,5 kilometer) jauhnya dari massa serta dalam keaktifan dan politik
terjejer sangat jauh di belakang dibandingkan dengan kelas mereka di lain
koloni, tetapi mereka telah mulai bangun dari tidur. “Jubah Malaikat” dari
Notosoeroto telah dilemparkan mereka, dan mulai bersetuju kepada aksi-aksi
revolusioner. Sekarang dari beberapa universitas di negeri Belanda yang jauh
itu berdengung-dengung suara mereka hingga kedengaran oleh kaum intelektual
yang ada di Indonesia.
Tetapi
harapan buruh tani di Indonesia tidak cuma persetujuan hati saja dari
intelektual itu. Mereka menghendaki perbuatan atau bukti-bukti.
Selama
kaum terpelajar kita melihat bahwa perjuangan kemerdekaan sebagai masalah
akademi saja, selama itulah perbuatan-perbuatan yang diharapkan itu kosong
belaka. Biarlah mereka melangkah keluar dari kamar belajar menyeburkan diri ke
dalam politik revolusioner yang aktif.
Gelombang pemogokan, pemboikotan dan demonstrasi yang beralun-alun setiap hari bertambah besar, melalui rapat nasional menuju ke Federasi Republik Indonesia, inilah jalan mereka, tidak lain!
Tan Malaka
(isi diluar tanggung jawab saya karena semata-mata hanya untuk meneruskan informasi, jika terdapat kesalahan penulisan/pengartian/kosa kata maka yang digunakan sebagai rujukan utama adalah buku "Aksi Massa" oleh Tan Malaka terbitan Teplok Press, 2000)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar