23 April 2023

Aksi Massa : Tan Malaka [12]

 


2. Kegelapan

Masih saja "pemerintah tani dan tukang warung" Belanda takut kepada Universitas dan Sekolah Tinggi seperti kepada hantu. Masih saja belum terlepas ia dari gangguan momok "buruh intelektual". Ia sudah berbuat keliru dalam pandangan politik pengajaran Inggris dan mengambil kesimpulan yang salah. Ia terlalu bodoh untuk memikirkan bahwa berhubung dengan wawasan dan kecakapan imperialisme Inggris-lah, maka dulu sudah ada kaum terpelajar di India yang pada masa sulit kerapkali membantu pemerintah Inggris, dan juga berkat adanya kelas intelektual, termasuk juga kaum ekstrimis, maka Tilak dan Mahatma Gandhi beroleh kemenangan ekonomi dengan gerakan boikotnya yang luas. Dan pula karena Inggris bekerja sama dengan borjuasi bumiputra modern, di lapangan politik dan ekonomi, maka Inggris dapat memerintah terus di India walaupun digempur oleh gerakan non-cooperation baru-baru ini.

Pemerintah Belanda di dalam perdebatan selalu mengemukakan pelbagai keberatan terhadap pendirian universitas di Indonesia, yaitu keberatan yang hanya dapat diterima oleh anak-anak kecil. Semua dalilnya hanya terpakai di zaman timbulnya penjajahan dan dapat disimpulkan dalam alasan-alasan di bawah ini.

  • Bahwa pemerintah ini, sesudah menyesal, seharusnya sekarang menjadikan dirinya pendidik rakyat Indonesia dengan belanja rakyat sendiri dan sepatutnya memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada anak-anak Indonesia, jika ia tidak doyan omong kosong; 

  • Bahwa bangsa Indonesia baik otak maupun kebangsaan tidak lebih tinggi, juga sebaliknya tidak lebih rendah dari bangsa mana saja, dan bahwa mereka itu sungguh matang untuk menerima pengajaran yang macam mana sekalipun;  

  • Bahwa universitas Indonesia yang pertama tak perlu cangkokan atau tiruan dari Eropa, tetapi dengan memperhatikan perguruan tinggi di Eropa berdasarkan pada kecerdasan rohani dan keadaan masyarakat Indonesia sendiri pada masa ini.

Filipina — yang 12 juta penduduknya — sudah mempunyai empat universitas dan beberapa sekolah tinggi, tapi Indonesia dengan penduduknya yang lima kali lebih banyak belum mempunyai sebuah juga.

Sekejap pun tak kita lupakan, bahwa bila "orang Belanda" mendirikan universitas di Indonesia, pengajarannya niscaya dan pasti lebih tinggi daripada di koloni lain sebagaimana, katanya, universitas Belanda jauh lebih tinggi daripada universitas di mana pun. Tanpa mempedulikan tabiat menurutkan kata hati sendiri itu, kita hanya ingin mengatakan kepada Belanda, "Cobalah dulu tunjukkan kecakapanmu itu di Indonesia!"

"Perbuatan itulah yang sebenarnya harus kamu buktikan!"

Tetapi, selain duit yang bagi seorang Belanda lebih berat timbangannya daripada cita-cita dan alasan politik, ada pula pandangan politik lain yang tak dapat kita harapkan dari si Belanda tani dusun yang dungu itu.

Belum selang berapa lama Tuan Hardeman, Kepala Departemen Pengajaran, menerangkan dalam sidang Dewan Rakyat bahwa mendirikan suatu perguruan tinggi belum tentu melahirkan buruh terpelajar, karena kebutuhan akan buruh pelajar itu untuk sementara waktu ini berkurang, disebabkan kesukaran ekonomi yang nanti tentu akan pulih. Dengan ini lenyaplah "momok" seperti yang dibuat oleh Java Bode, tanggal 30 Juni.

Akibat politik pengajaran Belanda di sana-sini kelak akan kita ulas lagi. Di sini kita ingin memastikan, dengan angka-angka, bahwa perguruan rendah, menengah dan tinggi, semenjak dulu tidak cukup untuk rakyat yang berjumlah 55 juta. Hal itu harus diakui tanpa mengindahkan alasan kosong dari yang menyebut dirinya "pemerintah".

Kita lewati sepintas lalu sekolah-sekolah tinggi yang sudah beberapa tahun, katanya, mengeluarkan berpuluh-puluh dokter, mister, dan insinyur. Kita tujukan pembicaraan sebentar kepada soal sekolah rendah. Jumlah anak-anak yang harus masuk sekolah pada tahun 1919 adalah sebagai berikut : H.I.S. 1%, Sekolah Rakyat 5%, Sekolah Desa 8% sampai 14%. Lebih kurang 86% anak-anak yang seharusnya bersekolah tak mendapat tempat (menurut laporan kongres N.I.O.G. tahun 1923 yang diumumkan dalam Indische Courant). Mereka yang bisa membaca dan menulis sekarang ditaksir 5% sampai 6%, mungkin juga 2% sampai 3%.

Jumlah belanja perguruan di tahun 1919 menurut kabar yang sah adalah f 20,000,000 dan f 75,000,000 untuk 150,000 orang anak-anak Eropa dan f 12,500,000 untuk anak-anak dari 55,000,000 tukang bayar pajak rakyat Indonesia. Pada tahun 1923 belanja perguruan itu f 34.452.000. Jadi, untuk seorang anak bumiputra pada waktu itu dikeluarkan 30 sen, sama artinya 1/7 dari yang dikeluarkan untuk anak Filipina.

Untuk badan-badan lain, yang memperlihatkan contoh yang baik kepada rakyat yang tak senang, seperti polisi, militer dan armada, pada tahun itu dikeluarkan belanja sebesar f 156,274,000. Tambahan pula seperti yang sudah dimufakati antara dia sama dia, di lain tahun akan dibelanjakan f 300,000,000. Satu beban yang berat sekali di atas bahu si Kromo yang merana itu.

Kita, kaum revolusioner, pada tahun 1921 bermaksud untuk memperbaiki keteledoran pemerintah dalam pendidikan itu dengan mendirikan sekolah-sekolah sendiri. Dengan menempuh pelbagai macam kesusahan, seperti kesulitan teknis, kepegawaian, keuangan, politik dan polisi, akhirnya dapat kita dirikan di seluruh Jawa 52 buah sekolah dengan kira-kira 50,000 orang murid dan jumlah itu bertambah banyak. Akan tetapi, sekolah itu digencet dengan kekerasan. Dengan alasan yang tak cukup setiap waktu guru-guru di sekolah itu dilarang mengajar, dan orangtua murid-murid ditakut-takuti. Pukulan penghabisan dijatuhkan Serikat Hijau (sebuah kumpulan penyamun yang dikerahkan, diupah dan dipimpin oleh pemerintah dan orang-orangnya). Penyamun upahan ini disuruh membakar sekolah, menakut-nakuti dan menganiaya orang, murid dan guru-gurunya. Dan perintah dijalankan oleh mereka dengan sungguh-sungguh.

Sebuah pergerakan rakyat yang sehat menuju ke pemberantasan buta huruf yang dipimpin dengan gembira dan tak memandang susah payah oleh kaum revolusioner di Priangan pada tahun 1922 ditimpa nasib yang seburuk itu pula. Politik pemerintah ini dalam soal pengajaran boleh disimpulkan dengan perkataan: "bangsa Indonesia, harus tetap bodoh supaya ketenteraman dan keamanan umum terpelihara".


3. Kelaliman dan Perbudakan

Meski sudah 300 tahun Indonesia berkenalan dengan peradaban Barat, masih saja rakyat kita hidup di dalam keadaan yang tak mengenal atau mempunyai hak. Pak tani tak pernah sehari juga mendapat kepastian tentang kepemilikan, kemerdekaan bahkan nyawanya sekalipun. Setiap tahun skrup pajak rakyat semakin keras putarannya. Kaum buruh tidak boleh mengadakan perhimpunan atau mengemukakan keberatannya. Permohonan rakyat yang pantas tidak didengarkan. Pendidikan dan pemimpin rakyat yang dipercayai rakyat dicap dan diperlakukan seperti penghasut dan bandit, dan karena itu, dengan tidak diperiksa terlebih dahulu, dimasukkan ke dalam penjara, disekap di kamar tikus, dihalau keluar negeri atau diketok kepalanya sampai mati. Permintaan dan protes yang beralasan dimusnahkan oleh birokrasi yang rupanya lebih suka tenggelam dalam kebusukannya sendiri.

Sekarang marilah kita persilakan Prof. Van Vollenhoyen yang termashur itu berbicara dan mencela sikap pemerintah Belanda, seperti yang tertulis dalam buku beliau Indonesier en zijn Grond. Indonesia boleh jadi mempunyai tidak kurang dari 70% penduduk yang hidup dari pertanian; dan karena itulah, maka penting bagi seorang terpelajar — yang kehormatan dan kedudukannya belum pernah dicurangi orang — supaya mendengar apakah yang sudah diperbuat terhadap si tani dalam beberapa tahun oleh sebuah kekuasaan yang mengaku dirinya sebagai "pengasuh rakyat" serta merasa berbuat serupa itu.

Kita bukan hendak mengorek-orek yang sudah terjadi maka lebih dulu diperbincangkan kejadian-kejadian semenjak 60 tahun dari abad yang silam. Siapa saja tentu tahu dan membenarkan perkataan bahwa di tahun-tahun itu "orang Jawa dianiaya". Akan tetapi tidak semua orang dengan lekas melihat macam apa dan sampai ke mana batas penggencetan atas milik kaum tani itu. Untuk mengetahui hal ini, tak usah kita baca buku-buku kelaliman pemerintah Belanda ini sebagai "kaum penghasut dan penyebar kebencian", tetapi kita ambil saja perslahannya sendiri.

Kesewenang-wenangan Daendels, biar bagaimana busuknya, masih dapat dianggap luar biasa. la mempunyai kekuasaan sendiri atas sawah dan ladang rakyat untuk menggaji pegawai bumiputra (hlm. 12 dan dll).

Seterusnya van Vollenhoven berkata: "dibandingkan dengan peratusan raja-raja Jawa yang hampir sama busuk dengan kebiasaan kita, "masih terbatas" dalam kerajaannya saja, Kedu, Yogyakarta dan Surakarta, tetapi kita meluaskannya sampai meliputi seluruh pulau itu" (hlm. 16).

Pegawai-pegawai desa mengambil suatu kepunyaan rakyat yang baik untuknya dan diberikannya yang buruk kepada rakyat yang bodoh. Semua itu perbuatan sewenang-wenang (hlm. 17).

"Apakah yang kita harapkan sekarang?” tanya van Vollenhoven seterusnya. Apakah kita berangsur-angsur akan menghentikan kerewelan perkara sawah ladang karma pajak tanah (ini sudah terjadi). Apakah kita berangsur-angsur tidak lagi akan mengambil sawah ladang dan kebun paksaan rakyat (ini sudah terjadi). Apakah kita akan mengurangi dan menghapuskan akibat yang merugikan dari kerja paksa atas tanah-tanah kepunyaan rakyat (ini sudah terjadi). Dan selanjutnya kita belajar mendiamkan tangan kita yang gatal itu. Yang belakangan ini belum terjadi (hlm. 20).

Bila pada tahun 1919 seorang Jawa yang haknya atas tanahnya dirugikan f 1,000 datang mengadukan halnya kepada kontrolir, ia akan dihukum delapan hari kerja paksa. Bila ia menghadap Presiden Pengadilan Negeri, ia akan dijawab, "Tidak ada waktu!" dan bila orang itu pergi minta perlindungan Wali Negeri, "Sri Paduka Tuan Besar tidak berkenan menjawab". Dalam bahasa Belanda yang agak halus disebut hal itu "godsgeklaagd" (hlm. 26).

Seringkali terjadi di tengah-tengah sebidang tanah yang akan diberikan pemerintah kepada tuan-tuan besar kebun ada sawah atau ladang bumiputra. Menurut undang-undang, tanah itu tidak boleh diambil kecuali jika untuk keperluan pemerintah sendiri. Akan tetapi dalam praktiknya, orang berikhtiar membujuk si inlander supaya mau menukar haknya dengan uang (hlm. 26). Berikut ini adalah kesimpulan dari Prof. van. Vollenhoven yang tak dapat dicela kebenaran dan kenyataannya itu.

"Tetapi rupanya inilah yang sepenting-pentingnya orang Indonesia yang punya tanah sendiri, sungguh sangat susah akan mempunyai perasaan selain dari pelanggaran terus menerus; dusta dan penipuan atas hak tanahnya yang sah di atas kertas, sebagai daya upaya yang tak habis-habisnya untuk merampasi haknya tadi atau berdaya upaya supaya ia jangan dapat mempergunakannya" (hlm. 28).

Kita masih dapat mengutip beberapa gugatan dan kesimpulan van Vollenhoven yang berkenaan dengan penipuan atas tanah dengan jalan mengubah kalimat undang-undang, dengan merusak dan melanggar undang-undang itu sendiri dan tentang sebab-sebab pemberontakan di Sumatera, Borneo, yakni pencurian tanah. Akan tetapi, kutipan tersebut di atas sudah memadai.

Dan tidakkah semua kenaikan pajak sekarang itu adalah suatu kesewenang-wenangan yang kasar jika kita menggunakan perkataan Prof. van Vallenhoven itu sendiri? Adakah rakyat kita diberitahu waktu pemerintah mengambil suatu keputusan dan memperbincangkan kepemilikan, pekerjaan dan kemerdekaan kita?

Tidak pernah! Persis sebagaimana pemerintah tidak pernah bertanya kepada kita, "Apakah kita menyukainya atau tidak?"

Bangsa Indonesia yang 55 juta itu tidak mempunyai wakil seorang jua pun dalam pemerintahan ini yang boleh memperdengarkan suara atau nasihat, protes atau celaan. Gerombolan militeris dan birokrasi yang menghisap darah dan menguasai nasib kita, tak pernah kita sukai dan kita pilih. Mereka tak dapat kita hentikan sebab kita tak punya kekuasaan politik. Mereka ini mesti kita terjang bila kita tidak suka kepada mereka, lain tidak! Kesimpulannya, sekalian dan peraturan yang menguasai kita di Indonesia dibuat sesuka hati mereka sendiri dan pembayaran pajak dalam teori atau praktik, semuanya adalah "pencurian".

Marilah kita perhatikan nasib 300.000 kuli kontrak, yang "katanya" dilindungi oleh pemerintah ini. Upah yang kurang lebih f 12 sebulan sungguh hampir tak cukup untuk membeli pakaian yang biasanya koyak-koyak, sebab setiap hari dipakai kerja di kebun. Sehari bekerja 14 sampai 18 jam, sebab kebun-kebun tembakau biasanya jauh letaknya dari pondokan kuli, lebih tepat kandang kuli, meskipun di dalam kontrak hanya tertulis 10 jam.

Perlakuan pengawas-pengawas kebun bangsa Eropa lebih tepat digambarkan sebagai penikaman, pembacokan; penganiayaan dan pembunuhan atas asisten-asisten kebun dan "kehalusan yang diusik-usik hingga menjad kekejaman!" Di sinilah terjadi pergaulan sosial yang diracuni oleh judi, candu dan persundalan yang merendahkan tabiat kuli-kuli dan menyebabkan mereka banyak berutang kepada majikannya, hingga kontrak mereka terpaksa selamanya diperbaharui.

Syarat-syarat kerja seperti itu — langsung atau tidak — dipikulkan di atas kaum tani yang kebanyakan buta huruf dan dungu; mereka ditekan dalam satu "kontrak" yang diakui oleh pemerintah. Dalam kontrak itu disebutkan mereka "tak boleh berorganisasi dan mogok" — yang dengan jalan itu mereka dapat menagih upah dan syarat-syarat kerja yang sedikit mendingan seperti di negeri-negeri lain. Hal itu diakui oleh pemerintah. Sungguh hal itu hanya dapat dipertahankan oleh "saudagar budak" di zaman biadab.

Marilah kita ingat kejahatan-kejahatan yang dilakukan di Deli. Marilah kita ingat penganiayaan baru-baru ini yang dilakukan oleh orang-orang Eropa di Lampung dan Sumatera Selatan, yaitu kejahatan yang dianggap sebagai dongeng saja di abad. Bahkan lebih dari dongeng, yaitu ringannya hukuman yang dijatuhkan oleh pemerintah atas "bajingan-bajingan" Eropa itu.

Kaum buruh industri, perkebunan dan pengangkutan yang beratus ribu atau beberapa juta di Jawa dan lainnya, yang diperbudak tidak dengan kontrak, yang katanya "buruh merdeka", bernasib tak lebih baik daripada budak kontrak asli. Satu per satu kakinya diikat dengan rantai aturan, hingga tak dapat berorganisasi dan berjuang melawan kapitalis yang sewenang-wenang. Di dalam Dewan Rakyat, Majelis Tinggi dan Rendah, dan surat-surat kabar yang berlain-lainan tujuan itu, telah berulang-ulang diperbincangkan hak organisasi dan hak mogok dari kaum buruh Indonesia! Tak perlu kita ulang lagi di sini, atau kita uraikan hukum-hukum paksa itu. Sekali lagi dikatakan undang-undang itu bukanlah menurut perasaan modern, tetapi aturan paksa yang dihadapkan oleh segerombolan kaum birokrat kepada buruh Indonesia, buat pengikat segala daya upaya mereka menuju perbaikan nasib.

Semua undang-undang yang dijalankan itu menyebabkan kita teringat kepada zaman biadab dan perbudakan yang gelap. Begitu banyak undang-undang paksa terhadap politik gerakan sehingga tak dapat kita terus-terang mengatakan atau menulis sesuatu mengenai si penjajah atau yang dapat membukakan mata rakyat yang terbelenggu ini.

Rakyat Indonesia mesti menutup mulutnya jika terjadi penganiayaan atas diri pemimpin-pemimpin yang mereka percayai dan kasihi, juga apabila dengan sengaja para pemimpin dirampas beberapa bulan kemerdekaannya atau tanpa diperiksa lebih dulu terus dibuang sebab dianggap berbahaya atau secara khianat ditikam, dibacok, diketok kepalanya sampai mati, atau dicabut nyawanya dengan peluru.

Bila diceritakan kepada rakyat bahwa seorang pemimpin yang dicintai, seperti Haji Misbach yang katanya mati "disebabkan demam hitam" pada satu pembuangan yang ditentukan oleh pemerintah, mau tidak mau, mereka mesti percaya saja.

Bilamana rakyat mendengar bahwa seorang pemuda yang terpelajar dan sopan, seperti Soegono kita, pemimpin V.S.T.G yang katanya "membunuh diri" dalam penjara, sedangkan pada kepala dan tangannya terdapat bekas-bekas penganiayaan dan sebuah jarinya hancur sama sekali, rakyat "tak dapat mendakwa", juga tidak boleh mengajukan protes sama sekali.

Dan pemerintah yang "katanya" jadi pengasuh dan pelindung rakyat kita, tidak mengadakan pemeriksaan saksama tentang sebab-sebab kematian yang sekonyong-konyong dari pemimpin rakyat yang cakap berjuang dengan dada terbuka dan pendek kata dicintai dan dipercayai rakyat. Dia tidak mempedulikan atau tak punya keberanian moral akan mengakui dan membetulkan kesalahannya dan menghukum yang bersalah menurut undang-undang Fiat justitiaruate cellum.

(Jalankanlah keadilan meskipun langit akan runtuh!)

Keadilan di Indonesia hanya bagi segolongan kecil yaitu si penjajah kulit putih. Bagi bangsa Indonesia yang berhak atas negeri itu, tak ada keadilan dan pengadilan.


(isi diluar tanggung jawab saya karena semata-mata hanya untuk meneruskan informasi, jika terdapat kesalahan penulisan/pengartian/kosakata maka yang digunakan sebagai rujukan utama adalah buku "Aksi Massa" oleh Tan Malaka terbitan Teplok Press, 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar