20 September 2022

Aksi Massa : Tan Malaka [5]

 5. Tarunajaya

Sebagaimana di Kerajaan Roma dan Tiongkok, gundukan pengendali pemerintahan yang tidak mencocoki kebenaran di ibukota disapu oleh kekuatan baru dari daerah; demikianlah, darah Kerajaan Mataram akan dibersihkan dan dikuatkan oleh Tarunajaya serta kawan-kawannya.

Seorang putera Indonesia datang dari Makasar yang mengetahui jiwa (psikologi) rakyat Jawa mendapat pengikut yang besar, serta berhasil mengalahkan Raja Mataram yang keluar dari garis kebenaran itu. Pulau Jawa khususnya dan Indonesia umumnya akan mempunyai riwayat lain bila tidak datang satu kekuasaan baru di Pulau Jawa. Ramalan Empu Sedah yang lain sekarang seakan-akan terbukti, "Pemerintahan bangsa asing, yaitu kerbau putih yang bermata seperti mata kucing" (kebo bule siwer matane).

Dengan datangnya kekuasaan Belanda lenyaplah segala sesuatu yang menyerupai kemerdekaan. Pengaruh bangsa asing dan percampuran darah dengan bangsa Asia lain-lain menyebabkan gencetan yang sebuas-buasnya. Sekalian hak-hak ekonomi dan politik "ditelan" bangsa itu (Belanda) dengan kekerasan dan kecurangan, seperti yang belum pernah dikenal oleh bangsa Indonesia! Pemerasan yang serendah-rendahnya (kebiadaban) serta kelaliman menjadi kebiasaan setiap hari!

Tarunajaya tak dapat melawan kekuasaan Belanda yang memakai senjata asing (Barat). Maka kucing melihat keadaan ini dan untuk pertama kali dipergunakanlah jalan politik devide et impera, memecah-belah dan menguasai, yang mashur itu. Sesudah Raja Mataram berjanji kepada Kompeni Hindia Timur untuk memberikan kekuasaan dan tanah, mulailah setan-setan itu bekerja.

Panembahan di Madura, seorang kawan dari Tarunajaya, disumbat oleh Kompeni Hindia Timur dengan mas intan dan perkataan yang manis-manis hingga mereka dapat bergandengan. Sekarang Tarunajaya berdiri di antara "tiga api": Belanda, raja dan kawan lamanya. Inilah yang menyebabkan kalahnya Tarunajaya dengan disaksikan oleh Kompeni Hindia Timur sendiri!

Kerajaan Mataram yang tak semanggah itu mendapat "kemenangan" atas sokongan yang tak langsung dari Kompeni, namun suatu hal yang tak semanggah itu lambat laun akan menjadi kenyataan juga seperti yang terbukti pada akhirnya.

6. Diponegoro

Jalan raya dari Anyer ke Banyuwangi yang mesti mempertalikan daerah-daerah yang dirampok itu dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels dengan cucuran peluh dan taruhan nyawa orang Jawa. Dengan adanya jalan itu, proses penanaman kapital jadi teratur. Tetapi proses itu tidak secara sukarela diterima oleh bangsa Indonesia. Ia adalah satu proses paksaan dan tidak menurut undang-undang alam. Saudagar di bandar-bandar didesak. Pelayaran dimonopoli oleh Belanda, bumiputra dilarangnya mempunyai hak milik. Pemasukan katun dari Barat yang murah harganya menghancurkan industri dan perdagangan, baik yang kecil maupun yang sedang. Borjuasi Jawa atau setengah Jawa dapat meneruskan langkahnya, yakni perjalanan antara feodalisme menuju kapitalisme. Akan tetapi, ia diperas sampai kering, oleh kapital Barat dan perangkatnya; begitulah feodalisme Mataram yang hampir tenggelam itu.

Seorang anak jantan dengan kemauannya yang keras seperti baja, berpengaruh laksana besi berani, yakni seorang laki-laki yang di dalam dadanya tersimpan sifat-sifat putera Indonesia sejati, tak berdaya mengubah nasib yang malang itu. Jika Diponegoro dilahirkan di Barat dan menempatkan dirinya di muka satu revolusi dengan sanubarinya yang suci itu, boleh jadi ia akan dapat menyamai sepak terjang Cromwell atau Garibaldi. Tetapi ia "menolong perahu yang bocor", kelas yang akan lenyap. Perbuatan-perbuatannya, meskipun penuh dengan kesatriaan, dalam pandangan ekonomi adalah kontra-revolusioner. Dan sangat susah dipastikan, macam apakah Diponegoro dalam pandangan politik, sebab tak dapat disangkal lagi bahwa citacitanya adalah "Singgasana Kerajaan Mataram". Satu kekuasaan yang mudah berubah menjadi kelaliman.

Diponegoro menunjang kesuburan modal serta perluasan jalan. Karena itu, ia menghalang-halangi kenaikan penghasilan atau secara ekonomi, kontrarevolusioner. Tak pernah kita baca bahwa ia menentang kapital-imperialistis dengan menghidupkan kapital nasional. Pendeknya, ia tidak mempunyai program politik atau ekonomi. Ia merasa didesak oleh kekuasaan baru dan setelah dia lihat bahwa kekuasaan baru itu mempergunakan kekuasaan Mataram yang bobrok itu sebagai alat, maka kedua musuh itu pun diterjangnya.

Sekiranya Pulau Jawa mempunyai borjuasi nasional yang revolusioner, Diponegoro dalam perjuangannya melawan Mataram dan Kompeni pastilah berdiri di sisi borjuasi itu. Dengan begitu niscaya dapatlah tercipta suatu perbuatan yang mulia dan pasti. Tetapi itu tak ada, borjuasi yang berbau keislaman dalam lapangan ekonomi dihancurkan oleh kapital Belanda sama sekali. Dalam kekecewaan yang hebat terhadap Mataram dan Kompeni, dapatlah ia mempersatukan diri di bawah pimpinan Kyai Mojo, seorang ahli agama Islam yang fanatik dan bersemboyan "Perang Sabilullah", bukan kebangsaan.

Menarik satu kesimpulan terhadap pemberontakan Diponegoro bukanlah satu pekerjaan yang mudah. Karena hal ini sesungguhnya perjuangan kaum borjuasi Islam Jawa menentang kapital Barat yang disokong oleh satu kerajaan yang hampir tenggelam (Mataram).

Akibatnya sungguh jelas. Tak ada seorang pun mampu, bagaimanapun pintarnya, menolong satu kelas yang lemah, baik teknik maupun ekonomis melawan satu kelas yang makin lama makin kuat.

Satu kelas baru mesti didirikan di Indonesia untuk melawan imperialisme Barat yang modern.

Apakah kesimpulan dari riwayat-riwayat yang tersebut di atas?

Pertama, bahwa riwayat kita ialah riwayat Hindu atau setengah Hindu; kedua bahwa perasaan sebagai kemegahan nasional jauh dari tempatnya; dan yang penghabisan, bahwa setiap pikiran yang mencitakan pembangunan (renaissance) samalah artinya dengan menggali aristokratisme dan penjajahan bangsa Hindu dan setengah Hindu yang sudah terkubur itu.

Bangsa Indonesia yang sejati dari dulu hingga sekarang masih tetap menjadi budak belian yang penurut, bulan-bulanan dari perampok-perampok asing.

Kebangsaan Indonesia yang sejati tidak ada kecuali ada niat membebaskan bangsa Indonesia yang belum pernah merdeka itu. Bangsa Indonesia yang sejati belum mempunyai riwayat sendiri selain perbudakan.

Riwayat bangsa Indonesia baru dimulai jika mereka terlepas dari tindasan kaum imperialis.


(isi diluar tanggung jawab saya karena semata-mata hanya untuk meneruskan informasi, jika terdapat kesalahan penulisan/pengartian/ kosakata maka yang digunakan sebagai rujukan utama adalah buku "Aksi Massa" oleh Tan Malaka terbitan Teplok Press, 2000)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar