5. Tarunajaya
Sebagaimana di Kerajaan Roma dan Tiongkok, gundukan pengendali pemerintahan yang tidak mencocoki kebenaran di ibukota disapu oleh kekuatan baru dari daerah; demikianlah, darah Kerajaan Mataram akan dibersihkan dan dikuatkan oleh Tarunajaya serta kawan-kawannya.
Seorang
putera Indonesia datang dari Makasar yang mengetahui jiwa (psikologi) rakyat
Jawa mendapat pengikut yang besar, serta berhasil mengalahkan Raja Mataram yang
keluar dari garis kebenaran itu. Pulau Jawa khususnya dan Indonesia umumnya akan
mempunyai riwayat lain bila tidak datang satu kekuasaan baru di Pulau Jawa.
Ramalan Empu Sedah yang lain sekarang seakan-akan terbukti, "Pemerintahan bangsa asing, yaitu kerbau
putih yang bermata seperti mata kucing" (kebo bule siwer matane).
Dengan
datangnya kekuasaan Belanda lenyaplah segala sesuatu yang menyerupai kemerdekaan.
Pengaruh bangsa asing dan percampuran darah dengan bangsa Asia lain-lain
menyebabkan gencetan yang sebuas-buasnya. Sekalian hak-hak ekonomi dan politik
"ditelan" bangsa itu (Belanda) dengan kekerasan dan kecurangan,
seperti yang belum pernah dikenal oleh bangsa Indonesia! Pemerasan yang serendah-rendahnya
(kebiadaban) serta kelaliman menjadi kebiasaan setiap hari!
Tarunajaya
tak dapat melawan kekuasaan Belanda yang memakai senjata asing (Barat). Maka
kucing melihat keadaan ini dan untuk pertama kali dipergunakanlah jalan politik devide et impera, memecah-belah dan
menguasai, yang mashur itu. Sesudah Raja Mataram berjanji kepada Kompeni Hindia
Timur untuk memberikan kekuasaan dan
tanah, mulailah setan-setan itu bekerja.
Panembahan
di Madura, seorang kawan dari Tarunajaya, disumbat oleh Kompeni Hindia Timur
dengan mas intan dan perkataan yang manis-manis hingga mereka dapat
bergandengan. Sekarang Tarunajaya berdiri di antara "tiga api":
Belanda, raja dan kawan lamanya. Inilah yang menyebabkan kalahnya Tarunajaya
dengan disaksikan oleh Kompeni Hindia Timur sendiri!
Kerajaan Mataram yang tak semanggah itu mendapat "kemenangan" atas sokongan yang tak langsung dari Kompeni, namun suatu hal yang tak semanggah itu lambat laun akan menjadi kenyataan juga seperti yang terbukti pada akhirnya.
6.
Diponegoro
Jalan
raya dari Anyer ke Banyuwangi yang mesti mempertalikan daerah-daerah yang dirampok
itu dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels dengan cucuran peluh dan taruhan
nyawa orang Jawa. Dengan adanya jalan itu, proses penanaman kapital jadi
teratur. Tetapi proses itu tidak secara sukarela diterima oleh bangsa
Indonesia. Ia adalah satu proses paksaan dan tidak menurut undang-undang alam.
Saudagar di bandar-bandar didesak. Pelayaran dimonopoli oleh Belanda, bumiputra
dilarangnya mempunyai hak milik. Pemasukan katun dari Barat yang murah harganya
menghancurkan industri dan perdagangan, baik yang kecil maupun yang sedang.
Borjuasi Jawa atau setengah Jawa dapat meneruskan langkahnya, yakni perjalanan antara
feodalisme menuju kapitalisme. Akan tetapi, ia diperas sampai kering, oleh
kapital Barat dan perangkatnya; begitulah feodalisme Mataram yang hampir
tenggelam itu.
Seorang
anak jantan dengan kemauannya yang keras seperti baja, berpengaruh laksana besi
berani, yakni seorang laki-laki yang di dalam dadanya tersimpan sifat-sifat
putera Indonesia sejati, tak berdaya mengubah nasib yang malang itu. Jika
Diponegoro dilahirkan di Barat dan menempatkan dirinya di muka satu revolusi
dengan sanubarinya yang suci itu, boleh jadi ia akan dapat menyamai sepak
terjang Cromwell atau Garibaldi. Tetapi ia "menolong perahu yang bocor",
kelas yang akan lenyap. Perbuatan-perbuatannya, meskipun penuh dengan
kesatriaan, dalam pandangan ekonomi adalah kontra-revolusioner. Dan sangat
susah dipastikan, macam apakah Diponegoro dalam pandangan politik, sebab tak
dapat disangkal lagi bahwa citacitanya adalah "Singgasana Kerajaan
Mataram". Satu kekuasaan yang mudah berubah menjadi kelaliman.
Diponegoro
menunjang kesuburan modal serta perluasan jalan. Karena itu, ia
menghalang-halangi kenaikan penghasilan atau secara ekonomi,
kontrarevolusioner. Tak pernah kita baca bahwa ia menentang
kapital-imperialistis dengan menghidupkan kapital nasional. Pendeknya, ia tidak
mempunyai program politik atau ekonomi. Ia merasa didesak oleh kekuasaan baru
dan setelah dia lihat bahwa kekuasaan baru itu mempergunakan kekuasaan Mataram
yang bobrok itu sebagai alat, maka kedua musuh itu pun diterjangnya.
Sekiranya
Pulau Jawa mempunyai borjuasi nasional yang revolusioner, Diponegoro dalam
perjuangannya melawan Mataram dan Kompeni pastilah berdiri di sisi borjuasi
itu. Dengan begitu niscaya dapatlah tercipta suatu perbuatan yang mulia dan
pasti. Tetapi itu tak ada, borjuasi yang berbau keislaman dalam lapangan
ekonomi dihancurkan oleh kapital Belanda sama sekali. Dalam kekecewaan yang
hebat terhadap Mataram dan Kompeni, dapatlah ia mempersatukan diri di bawah pimpinan
Kyai Mojo, seorang ahli agama Islam yang fanatik dan bersemboyan "Perang
Sabilullah", bukan kebangsaan.
Menarik
satu kesimpulan terhadap pemberontakan Diponegoro bukanlah satu pekerjaan yang
mudah. Karena hal ini sesungguhnya perjuangan kaum borjuasi Islam Jawa
menentang kapital Barat yang disokong oleh satu kerajaan yang hampir tenggelam
(Mataram).
Akibatnya
sungguh jelas. Tak ada seorang pun mampu, bagaimanapun pintarnya, menolong satu
kelas yang lemah, baik teknik maupun ekonomis melawan satu kelas yang makin
lama makin kuat.
Satu
kelas baru mesti didirikan di Indonesia untuk melawan imperialisme Barat yang modern.
Apakah
kesimpulan dari riwayat-riwayat yang tersebut di atas?
Pertama,
bahwa riwayat kita ialah riwayat Hindu atau setengah Hindu; kedua bahwa
perasaan sebagai kemegahan nasional jauh dari tempatnya; dan yang penghabisan,
bahwa setiap pikiran yang mencitakan pembangunan (renaissance) samalah artinya dengan
menggali aristokratisme dan penjajahan bangsa Hindu dan setengah Hindu yang
sudah terkubur itu.
Bangsa
Indonesia yang sejati dari dulu hingga sekarang masih tetap menjadi budak
belian yang penurut, bulan-bulanan dari perampok-perampok asing.
Kebangsaan
Indonesia yang sejati tidak ada kecuali ada niat membebaskan bangsa Indonesia
yang belum pernah merdeka itu. Bangsa Indonesia yang sejati belum mempunyai
riwayat sendiri selain perbudakan.
Riwayat bangsa Indonesia baru dimulai jika mereka terlepas dari tindasan kaum imperialis.
(isi diluar tanggung jawab saya karena semata-mata hanya untuk meneruskan informasi, jika terdapat kesalahan penulisan/pengartian/ kosakata maka yang digunakan sebagai rujukan utama adalah buku "Aksi Massa" oleh Tan Malaka terbitan Teplok Press, 2000)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar