07 Juni 2024

Sejarah Hukum Acara Pidana di Indonesia


A. SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA

I. Acara Pidana Sebelum Zaman Kolonial

Pada masa penjajahan Belanda, telah tercipta hukum yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut sebagai hukum adat. Pada masyarakat primitif, pertumbuhan hukum yang kemudian dipisahkan dalam hukum privat dan hukum publik dalam dunia modern, tidak membedakan kedua bidang hukum tersebut. Tuntutan perdata dan tuntutan pidana merupakan kesatuan, termasuk lembaga-lembaganya.

Lembaga seperti jaksa atau penuntut umum adalah lembaga baru. Istilah jaksa sendiri yang berasal dari bahasa Sansekerta 'adhyaksa' artinya sama dengan hakim pada dunia modern sekarang ini. Di Belanda-pun dahulu belum dikenal dengan istiah ‘officer van justitie’. Mula-mula dikenal istilah ‘schout’ disana yang khusus menuntut pidana. Begitu pula di Inggris, dahulu hanya ada ‘Crown Prosecutor’ yang khusus menuntut jika ada kepentingan raja di dalam perkara.

Soepomo menunjukkan bahwa padangan rakyat Indonesia terhadap alam semesta merupakan suatu totalitas. Manusia beserta makhluk lain dengan lingkungannya merupakan kesatuan. Alam ghaib dan alam nyata tidak dipisahkan. Apabila suatu bagian rusak atau menjadi tidak seimbang, maka yang lain juga turut merasakan. Menurut alam pikiran itu, yang paling utama adalah ialah keseimbangan atau hubungan harmonis yang satu dengan yang lain. Segala perbuatan yang mengganggu keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum (adat). Pada tiap pelanggaran hukum, para penegak hukum mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu.

Hazairin menulis bahwa dalam masyarakat tradisional Indonesia tidak ada pidana penjara. Hukum pembuktian pada masyarakat tradisional Indonesia sering digunakan pada kekuasaan Tuhan. Sistem pemidanaannya-pun sangat sederhana, mulai dari pembayaran ganti kerugian hingga ‘ri ule bawi’ (kedua kaki dan tangannya diikat lalu diselipkan sebuah bambu) lalu dipikul keliling kampung untuk dipertunjukkan. Jenis pidana ini adalah pidana yang sangat memalukan bagi terpidana.

Bentuk-bentuk sanksi hukum adat (dahulu) di himpun dalam ‘Pandecten van Hetadatrech’ bagian 10:

1.    Pengganti kerugian (imateril) dalam berbagai rupa, seperti pemaksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan;

2.    Bayaran uang adat kepada orang yang terkena, berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani;

3.    Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;

4.    Penutup malu, permintaan maaf;

5.    Pelbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati;

6.    Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.


II. Perubahan Perundang-Undangan Di Negeri Belanda Yang Dengan Asas Konkordansi Diberlakukan Pula di Indonesia

KUHAP yang dipandang sebagai produk nasional merupakan penerusan pula asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR ataupun Ned Strafvordering 1926 yang lebih modern. Perbedaan antara asas-asas hukum acara pidana Eropa Kontinental dan Anglo-Amerika masih tetap nyata misalnya sistem juri yang ada pada sistem Anglo-Amerika tetapi tidak dikenal di Ned Sv, juga demikian dengan KUHAP.

Bahkan sistem hakim komisaris yang ada dalam Ned Sv tetapi tidak dikenal dalam HIR (Herzien Inlandsch Reglement), ternyata KUHAP mengikutinya dengan nama praperadilan yang mirip dengan fungsi Hakim Komisaris. Menurut Pasal 1 ke-7 RUU KUHAP, Hakim Komisaris adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan dan wewenang lain yang ditentukan oleh KUHAP1.

VOC pada tahun 1747 telah mengatur organisasi peradilan pribumi di pedalaman, yang langsung memikirkan tentang ‘Javasche Wetten’ (Undang-Undang Jawa). Hal ini diteruskan pula oleh Daendels dan Raffles untuk menyelami hukum adat.

Tahun 1836, Schoolten van Oud-Haarlem telah menyatakan kesediaannya untuk mempersiapkan perundang-undangan baru di Hindia Belanda. Karena Schoolten van Oud-Haarlem sakit, maka pada tahun 1838 ia kembali ke negeri Belanda. Untuk mengganti panitia di Hindia Belanda, di negeri Belanda pada tahun 1839 dibentuk lagi panitia baru oleh menteri jajahan Vand Den Bosch yang terdiri dari Mr. Schoolten, Mr. Schneither, dan bekas residen JFW Van Nesh.

Hasil karya mereka adalah sebuah rancangan peraturan tata peradilan, sebuah rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Pada tahun 1845, panitia ini dibubarkan atas permintaan mereka sendiri. Di Hindia Belanda, rancangan Undang-Undang tentang Tata Peradilan diolah lagi Z. Van Der Vinne, Mr. Hoogeveen, Mr. Hultman, Mr. Visscher.

Mr. Wichers ini berpengalaman sebagai bekas jaksa dan anggota Dewan Pertimbangan Agung. Ia berangkat ke Hindia Belanda pada bulan Mei 1846. Tiga pekerjaan utama yang diselesaikan selama satu setengah tahun yaitu:

1. Peraturan mengenai Peradilan;

2. Peraturan mengenai perbaikan Kitab Undang-Undang yang telah ditetapkan;

3. Pertimbangan tentang berlakunya hukum Eropa untuk orang timur.


Isi dari Staatblads 1847 Nomor 23 yang terpenting adalah yang tersebut adalah Pasal 1 dan Pasal 4, yaitu:

1. Ketentuan Umum tentang Perundang-Undangan untuk Indonesia (Algemene Bepalingen Van Wetgeving Voor Indonesie yang disingkat AB);

2. Peraturan tentang Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (Rechterlijke Organisatie yang disingkat RO);

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW);

4. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel yang disingkat WVK)

 

III. Inlands Reglement kemudian Herziene Inlands Reglement

Salah satu peraturan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan Pengumuman Gubernur Jenderal tanggal 3 Desember 1847 Staatsblad Nomor 57 ialah Inlands Reglement (IR). Reglement tersebut berisi acara perdata dan acara pidana.

Gubernur Jenderal Rochussen khawatir tentang diberlakukannya reglement tersebut bagi orang bumiputera sehingga reglement tersebut masih dipandang sebagai percobaan. Apabila dijumpai berbagai kesulitan yang besar atau terjadi penyimpangan yang terlampau luas, maka reglement tersebut yang harus tunduk pada kenyataan-kenyataan itu.

Staatsblad 1941 Nomor 44 diumumkan kembali dengan nama Herziene Inlands Reglement. Perubahan IR menjadi HIR ialah dibentuk lembaga Openbaar Ministerie atau Penuntut Umum. Dengan perubahan ini, maka Openbaar Ministerie secara bulat dan tidak terpisah-pisahkan (een en ondelbaar) berada dibawah Officer van Justitie dan Procureur General.

Dalam praktek, IR masih berlaku disamping HIR di Jawa dan Madura. HIR baru berlaku di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, da lain-lain. Sedangkan di kota-kota lain berlaku IR.

Untuk golongan Eropa berlaku Reglement Op De Strafvordering dan Reglement Op De Burgelijk Rechtsvordering (Reglement Hukum Acara Pidana dan Reglement Hukum Acara Perdata). Ada pula landgerechtsreglement Staatsblad 1914 Nomor 137 sebagai hukum acara untuk Pemgadilan Landgerecht, yaitu Pengadilan untuk semua golongan penduduk yang memutus perkara yang kecil. Ada pengadilan-pengadilan lain seperti Residentiegerecht untuk golongan Eropa yang memutus perkara perdata yang kecil.

Untuk golongan bumiputera, ada pengadilan lain seperti districtsgerecht, regentschapsgerecht dan luar Jawa dan Madura terdapat magistraatsgerecht. Menurut ketentuan Reglement Buitengewesten yang memutus perkara perdata yang kecil. Sebagai pengadilan tertinggi meliputi seluruh Hindia Belanda ialah Hooggerechtshof yang putusan-putusannya disebut arrest.

 

IV. Acara Pidana Pada Zaman Pendudukan Jepang Dan Sesudah Proklamasi Kemerdekaan.

Pada zaman pendudukan Jepang tidak terjadi perubahan asasi kecuali hapusnya Raad van Justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropa. Dengan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942 dikeluarkan peraturan peralihan di Jawa dan Madura yang berbunyi, “Semua badan badan pemerintahan dan kekuasannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer" (Pasal 3).

Di luar Jawa dan Madura-pun pemerintah militer Jepang mengeluarkan peraturan yang sama. HIR dan Reglement voor de Buitengewesten serta Landgerechts Reglement berlaku untuk Pengadilan Negeri (Tihoo Hooin). Pengadilan Tinggi (Kooto Hooin) dan Pengadilan Agung (Saiko Hooin). Susunan pengadian ini diatur dengan Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942 tanggal 20 September 1942.

Ada pula Kejaksaan, yaitu Saiko Kensatsu Kyoku pada Pengadilan Agung, Kootoo Kensatu Kyaku pada Pengadilan Tinggi, dan Tihoo Kensatsu Kyoku pada Pengadilan Negeri.

Pada saat proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, keadaan tersebut dipertahankan dengan Pasal II aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 yang berbunyi, "Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung Selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini."

Pada Umumnya hukum acara pidana dan susunan pengadilan pada masa pendudukan Jepang masih tetap berkelanjutan pada masa Republik, kecuali karena keadaan memaksa maka dibentuk Mahkamah Agung di Yogyakarta serta pemindahan Pengadilan Tinggi di Sumatra dan Jawa, masing masing ke Bukit Tinggi dan Yogyakarta.

Acara pidana tetap HIR, Reglement op de Buitengewestern dan Landgerechtsreglement. Untuk sementara tidak ada kemungkinan banding bagi perkara pidana. Untuk perkara perdata dapat di banding kepada appelraad. Kemudian baru dibentuk di Makasasar Mahkamah Yustisi. Pengadilan tertinggi tetap Hooggerechtshof di Jakarta. Setelah dibentuk Negara-negara bagian, maka Negara-Negara bagian itu membentuk pengadilan sendiri-sendiri. Setelah dibentuk RIS, maka segera dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 LN 1950 Nomor 30 dibentuk Mahkamah Agung di Jakarta Menggantikan Hooggerechtschof di Jakarta.

Setelah dibentuk Negara-Negara bagian, maka Negara-Negara bagian itu membentuk pengadilan sendiri-sendiri. Setelah dibentuk RIS, maka segera dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 LN 1950 Nomor 30 dibentuk Mahkamah Agung di Jakarta menggantikan Hoogeerechtshof di Jakarta dan Mahkamah Agung di Yogyakarta. Dengan Undang-Undang nomor 18 Tahun 1950 LN 1950 Nomor 27 Landrechter (gaya baru) DI Jakarta diganti menjadi Pengadilan Negeri dan appelraad di Jakarta diubah menjadi pengadilan Tinggi.

 

V. Hukum Acara Pidana Menurut Undang-Undang Nomor 1 (drt) Tahun 1951

Dengan Undang-Undang tersebut dapat dikatakan telah diadakan unifikasi hukum acara pidana dan susunan pengadilan yang beranekaragam sebelumnya. Menurut Pasal 1 UU tersebut dihapus, yaitu sebagai berikut:

1.      Mahkamah Yustisi di Makassar dan alat penuntut umum padanya;

2.      Appelraad di Makasaar;

3.      Appelraad di Medan;

4.      Segala Pengadilan Negeri dan segala landgerecht (cara baru) dan alat penuntut umum padanya;

5.      Segala Pengadilan Kepolisian dan alat penuntut umum padanya;

6.      Segala Pengadilan Magistraad (Pengadilan Rendah);

7.      Segala Pengadilan Kabupaten;

8.      Segala Raadistrik,

9.      Segala Pengadilan Negeri;

10.  Pengadilan Swapraja;

11.  Pengadilan adat.

Pembentukan Inlands Reglement kemudian menjadi HIR itu tidak terlepas pula daripada usaha Belanda membenahi peraturan hukum nya setelah terlepas dari kekuasaan prancis.

Berdasarkan Asas Konkordansi, maka paket perundang-undangan baru itu hendak diberlakukan pula di Indonesia sejak Oemar Seno Adji menjabat Menteri kehakiman, telah dirintis jalan menuju kepada terciptanya perundang-undangan baru terutama tentang hukum acara pidana. Panitia tersebut telah berhasil menyusun RUU hukum acara pidana yang bercermin kepada hasil seminar hukum nasional mengenai hukum acara pidana dan HAM yang diadakan di Semarang pada tahun 1968.

Pada tahun 1974 rencana tersebut di limpahkan kepada Sekretariat Negara dan kemudian dibahas oleh 4 instansi yaitu Mahkamah agung, Kejaksaan Agung, Hankam, termasuk didalamnya Polri dan Department Kehakiman. Dalam rangka penyempurnaan rancangan ini telah didengar pula beberapa pendapat ahli ahli hukum. Seperti Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (Persahi), Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi), Persatuan Jaksa Indonesia (Persaja) dan Persatuan Adkovat Indonesia (Peradi).

Akhirnya RUU Hukum Acara Pidana itu di sampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dengan amanat Presiden pada tanggal 12 september 1979 Nomor r.08/p.u/IX/1979.

Dibandingkan dengan hasil final tersebut dengan rancangan semula maka tampak banyak perubahan perubahan yang paling asasi dari perubahan tersebut ialah hilangnya wewenang penyidikan Kejaksaan yang semula ada di dalam HIR, kemudian dipersempit oleh rancangan menjadi penyidikan lanjutan. Pasal 284 ayat (2) menjanjikan bahwa dalam 2 tahun akan diadakan perubahan peninjauan kembali terhadap Hukum Acara Pidana khusus seperti misalnya yang terdapat dalam UU Tindak Pidana Ekonomi dan UU Tindak Pidana Korupsi.

RUU Hukum Acara Pidana disahkah oleh Sidang Paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mengesahkan menjadi UU 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU Nomor 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, TLN nomor 3209).

 

B. HAKIM DAN KEKUASAAN KEHAKIMAN

I. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka

Hakim yang bebas dan tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia menjadi ciri pula suatu Negara hukum. The Universal Declaration of Human Rights, pada Pasal 10 yang telah diterjemahkan sebagai berikut berbunyi,

"Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya."

Sehubungan dengan Pasal itu, Pasal 8 yang telah diterjemahkan sebagai berikut berbunyi,

"Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim nasional yang kuasa terhadap tindakan perkosaan hak-hak dasar, yang diberikan kepadanya oleh Undang-Undang Dasar Negara atau Undang-Undang."

Pasal 24 UUD setelah amandemen ke-3 dan ke-4 berbunyi sebagai berikut,

1.      Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

2.      Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkugan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi.

3.      Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 24 yang asli tidak memerinci jenis peradilan seperti peradilan umum dan seterusnya. Yang aneh dalam amandemen UUD ini ialah Kepolisian masuk dalam UUD, sedangkan Kejaksaan (Jaksa Agung) akan diatur dengan Undang-Undang. Kedudukan para hakim yang dimaksud diatas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Begitupula perincian wewenang dan tugasnya dalam KUHAP, khusus mengenai bidang acara pidana.

Banyak faktor yang turut mempengaruhi tindakan kebebasan pengadilan tersebut. Faktor tersebut merupakan gangguan dari manusia yang berada diatas atau disamping hakim tersebut. Selain itu, masih ada faktor lain yang mempengaruhi kebebasan hakim, yaitu faktor lingkungannya, terutama kehidupan sosial ekonomi-nya.

Hakim Mohammad Suffian dari Pengadilan Federal Malaysia di Konferensi Lawasia di Kuala Lumpur, Malaysia, mengatakan sebagai berikut,

"Untuk memiliki hakim-hakim yang tidak memihak dengan sendirinya, mereka harus diangkat dari orang-orang yang cakap dan berpengalaman. Di Inggris, merupakan kebiasaan untuk mengangkat hakim-hakim dari kalangan advokat yang terkemuka..."

Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat lain, harus benar-benar menguasai hukum, bukan sekadar mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya. Menurut sistem yang diatur di Indonesia, pemeriksaan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim, hakim itu harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak. Terdakwa yang diwakili oleh Penasehat Hukumnya untuk bertanya kepada saksi- saksi, begitupula kepada Penuntut Umum. Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materil. Hakimlah yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya. Tidak benar pendapat yang menyatakan hakim harus pasif dan hanya memimpin sidang dan mendengar keterangan pihak-pihak belaka.

Hakim di Amerika Serikat mengumpulkan bukti-bukti kemudian memberi komentar atas bukti-bukti tersebut. Dengan demikian, ia dapat memanfaatkan pengalaman dan kecakapannya untuk membantu juri menemukan keputusannya yang tepat.

Ter Haar mengatakan hakim Indonesia harus mendekatkan diri serapat-rapatnya dengan masyarakat. Dengan berlakunya KUHAP, maka diharapkan peranan hakim dalam menciptakan keputusan-keputusan (yurisprudensi) yang tepat menjawab masalah-masalah baru yang timbul.

Kebebasan hakim dalam menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum, Wirjono Prodjodikoro menolak pendapat orang yang mengatakan hakim menciptakan hukum. Menurut beliau, hakim hanya merumuskan hukum. Pekerjaan hakim katanya mendekati pembuatan undang-undang, tetapi tidak sama. Untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin pada yurisprudensi dan pendapat ahli hukum terkenal (doktrin).

Apabila suatu peraturan dalam putusan hakim diterima secara tetap ternyata menjadi keyakinan hukum umum, atau dengan kata lain dalam suatu masalah hukum telah terbentuk yurisprudensi tetap dan peraturan itu menjadi hukum objektif, bukan berdasarkan putusan hakim tetapi sebagai kebiasaan. Berdasarkan garis tingkah laku hakim-hakim, terciptalah keyakinan hukum umum. Di Negara- negara common law yurisprudensi menjadi sumber hukum.

Hakim tidak memihak berarti juga hakim tidak menjalankan perintah dari pemerintah. Bahkan jika harus demikian menurut hukum, hakim dapat memutuskan menghukum pemerintah, misalnya tentang keharusan ganti kerugian yang tercantum dalam KUHAP.

Walaupun hakim diangkat dan digaji oleh pemerintah, namun ia tegak berdiri menjalankan kewajibannya dan tidak dipengaruhi oleh pemerintah. Hakim yang tidak memihak merupakan fundamen dari suatu Negara hukum.

 

II. Kekuasaan Mengadili

Tugas pengadilan dalam perkara pidana ialah mengadili semua delik yang tercantum dalam perundang-undangan pidana Indonesia yang diajukan (dituntut) kepadanya untuk diadili. Dalam hal kekuasaan mengadili, ada dua macam (yang biasa disebut juga kompetensi), yaitu sebagai berikut,

1.      Kekuasaan berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (attribute van rechsmacht) kepada suatu macam pengadilan (pengadilan negeri), bukan pada pengadilan lain;

2.      Kekuasaan berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (distributie van rechtsmacht) diantara satu macam (pengadilan- pengadilan negeri).

Yang pertama disebut kompetensi mutlak (absolute kompetentie) dan yang kedua disebut kompetensi relative (relatieve kompetentie). Pada tingkat pertama mungkin selain dari pengadilan negeri ada pengadilan lain yang berwenang mengadili suatu perkara, misalnya pengadilan tentara, pengadilan agama (misalnya nikah, talak, dan rujuk), pengadilan administrasi, dan lain-lain. Semua ini disebut kompetensi mutlak (absolut).

Jika sudah dapat dipastikan bahwa pengadilan negeri-lah yang berwenang mengadili perkara (pidana) itu pada tingkat pertama, bukan pengadilan seperti tata usaha Negara, maka yang dipersoalkan adalah pengadilan negeri yang mana berwenang. Inilah yang disebut kompetensi relatif. KUHAP mengatur masalah kompetensi relatif ini dalam Pasal 84, 85, dan 86.

Ada yurisprudensi Mahkamah Agung yang menentukan bahwa apabila karena suatu sebab perkara-perkara itu diajukan kepada beberapa pengadilan negeri bersama- sama, maka yang harus melanjutkan pemeriksaan perkara ialah pengadilan negeri yang didalam daerah hukumnya terdakwa ditahan, atau apabila terdakwa tidak ditahan, pengadilan negeri yang didaerah hukumnya terdakwa berdiam atau berada (putusan Mahkamah Agung 22 Agustus 1955, termuat dalam Majalah Hukum tahun 1957, Nomor 5-6).

Ketentuan lain tentang kompetensi mengadili ialah tentang pengadilan negeri yang berwenang mengadili seseorang yang melakukan delik di luar negeri yang tercantum dalam Pasal 86. Disitu ditentukan bahwa dalam hal demikian maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadili.

Dalam Pasal 148 KUHAP ditentukan bahwa jika seorang ketua Pengadilan Negeri berpendapat bahwa perkara pidana yang diterimanya tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya tetapi termasuk wewenang Pengadilan Negeri lain, ia menyerahkan surat pelimpahan perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri lain yang dianggap berwenang mengadilinya. Untuk itu dibuat surat penetapan tentang alasannya.

Surat penetapan beserta surat pelimpahan perkara diserahkan kepada Penuntut Umum dan Kejaksaan Negeri tersebut meneruskan kepada Kejaksaan Negeri di tempat Pengadilan Negeri yang disebut ke dalam surat penetapan. Dalam hal ini, Penuntut Umum dapat mengajukan perlawanan kepada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dalam 7 hari setelah penetapan tersebut diterima.

Dalam Pasal 149 ayat (1) butir d dikatakan bahwa pengadilan negeri yang menerima perlawanan tersebut wajib meneruskan perlawanan tersebut kepada pengadilan tinggi yang bersangkutan.

Bertambah luas wewenang tersebut dapat disebutkan tentang diperkenalkannya lembaga baru yang dinamakan praperadilan yang mirip dengan Rechter Commissaris Di negeri Belanda atau Judge d'Instruction di Prancis.

Menurut KUHAP, wewenang praperadilan ini ada dua:

a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.

b.Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Wewenang pengadilan juga bertambah di bidang pemberian putusan ganti kerugian, menurut Pasal 96 KUHAP, putusan itu diberikan dalam bentuk penetapan. Terutama yang berhubungan dengan penahanan yang tidak sah, hakim mempunyai kebebasan untuk memutuskan kepantasan memberikan ganti rugi tersebut (naar het oordeel vanden Rechter, opgronden van bilijkheid).

Dimonopoli oleh jaksa, akan tetapi dalam hal tindakan penuntutan ada juga di tangan hakim. Setiap tindakan baik oleh jaksa maupun oleh hakim yang di tunjukan terhadap tersangka merupakan tindakan penuntutan dalam arti mengantar dia menuju ke sidang pengadilan. Contoh tindakan penuntutan yang ada di tangan hakim ialah perpanjangan penahanan dan penuntutan sidang atau pemanggilan.

Dalam HIR pelaksanaan putusan hakim dipercayakan sepenuhnya kepada jaksa. Dalam UUKK pada pasal 33 ayat (2) telah ditentukan bahwa pengawasan putusan hakim dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan dan yang memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan undang-undang.

Pada abad yang lalu di Eropa dianut suatu pendapat bahwa hakim itu hanyalah mulut undang-undang. Ia tidak dapat memberikan pendapat tentang suatu undang- undang. Iini sejalan dengan pendapat yang mengutamakan kepastian hukum. Kalau hakim diberikan wewenang menafsirkan undang-undang atau menemukan hukum sendiri langsung ke masyarakat maka kepastian hukum akan terganggu.

Mulai awal abad ke-20 di Eropa mulai orang berpendirian lain. Alasan yang dikemukakan mereka ialah bahwa undang-undang itu selalu tidak lengkap, Selalu terdapat kesenjangan didalamnya. Untuk mengisi kekosongan dan kesenjangan itu, hakim berkewajiban menemukan hukum.

Tidak pernah ada undang-undang yang buatan manusia itu dapat bertahan tetap sesuai dengan keadaan masyarakat yang terus berkembang menjadi hukum dalam masyarakat. Tidak kurang pentingnya dalam hal ini peranan para hakim yang selalu mendekatkan diri pada masyarakat dan membuat keputusan keputusan yang hidup yang dapat diterima oleh masyakarat umum berupa yurisprudensi disamping penemuan penemuan baru oleh para sarjana hukum beruka doktrin.

Dalam UUKK terdapat 2 buah ketentuan mengenai hal ini. Yang pertama yaitu pasal 16 ayat (1) yang mengatakan sebagai berikut; "Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksan dan mengadilinya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar