Ambalat adalah blok laut luas mencakup 15.235 Km2 yang terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makasar dan berada di dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Timur, Indonesia. Penamaan blok laut ini didasarkan atas kepentingan eksplorasi kekayaan laut dan bawah laut, khususnya dalam bidang pertambangan minyak. Blok laut ini tidak semuanya kaya akan minyak mentah.
Wilayah Ambalat berada di Laut Sulawesi, sebelah timur pantai Kalimantan. Indonesia dan Malaysia saling klaim atas lempeng benua (continental shelf) dan Zona Ekonomi Eksklusif di wilayah itu. Oleh karena itu, sengketa yang terjadi tidak bersifat teritorial. Ada dugaan bahwa Malaysia menganggap perbatasan maritimnya ditentukan atas dasar sama jarak (equidistant), dengan Pulau Sipadan dan Ligitan. Namun masalahnya, Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ) tidak memutuskan batas maritim tersebut. Disisi lain, Indonesia mengklaim bahwa pulau-pulau kecil itu tidak lebih dari pulau karang berdasarkan definisi Konverensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS). Oleh karena itu, Indonesia menuntut haknya atas yurisdiksi 12 mil laut dari teritorial lautnya yang tidak mencakup perluasan continental shelf ataupun ZEE.
Ketegangan Indonesia dan Malaysia atas Blok Ambalat terjadi sekitar bulan Februari dan Maret 2005. Pada Desember 2004, Indonesia memberi izin eksplorasi wilayah yang diklaimnya di Blok Ambalat kepada Perusahaan Minyak ENI Italia dan UNOCAL AS. Ketegangan mulai muncul ketika Malaysia memberikan izin eksplorasi di wilayah yang diperselisihkan kepada Petronas Carigali dan International Royal Dutch/Shell Group pada 16 Februari 2005. Konsesi blok yang diberikan bertubrukkan dengan bagian blok Ambalat yang diklaim Indonesia. Departemen Luar Negeri menganggap tindakan Malaysia melanggar kedaulatan dan berikutnya mengirimkan nota protes kepada pemerintah Malaysia. Langkah serupa diambil Malaysia.
Ketika hubungan diplomatik memburuk, militer dikirim ke wilayah yang diperselisihkan. Pada 3 Maret 2005, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan “militer untuk melindungi kedaulatan Indonesia dan mengamankan wilayah sengketa.” Saat tiga kapal AL Indonesia berpatroli di wilayah sengketa, gugus tugas dari armada Indonesia Timur secara bertahap dikirim hingga mencapai 8 kapal perang dengan dibantu 4 jet tempur F-16 yang ditempatkan di Balikpapan, Kalimantan Timur, pada 7 Maret 2005. Angkatan bersenjata Malaysia juga menempuh langkah yang sama sembari mengupayakan jalur diplomasi. Pada 4 Maret 2025, angkatan laut dan kapal polisi laut Diraja Malaysia dimobilisasi ke Blok Ambalat. Unit angkatan udara juga diperkuat di Sabah dan Sarawak. Ketika pembicaraan diplomatik dimulai, militer Indonesia mengurangi kehadiran sejumlah kapal perangnya di wilayah Ambalat namun menolak untuk ‘menarik diri’.
Meski demikian, pengurangan armada kapal perang di wilayah sengketa tidak mencegah terjadinya insiden kecil. Kapal perang Indonesia KRI Tedung Naga bertabrakan dengan kapal patroli KD Rencong. Kedua belah pihak saling menuduh menjadi penyebab tabrakan. Dalam pertemuan darurat merespon insiden tersebut, Presiden Yudhoyono memerintahkan panglima militer untuk menahan diri dan memberikan kesempatan kepada pemerintah menyelesaikan permasalahan tersebut dengan cara damai. Langkah yang sama juga ditempuh Malaysia. Presiden SBY semakin meningkatkan posisi politiknya ketika mengunjungi Pulau Sebatik, wilayah Indonesia terdekat dengan Blok Ambalat pada 8 Maret 2005, sehari sebelum Menteri Luar Negeri kedua negara dijadwalkan menyelenggarakan pertemuan darurat. Kunjungan SBY ke pulau Sebatik bersamaan dengan klaim militer Indonesia bahwa 7 kapal perangnya mengejar kapal patroli Malaysia. Selain, itu diumumkan penempatan batalion angkatan laut dari Jawa ke Kalimantan Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar