01 November 2013

Kasus Ambalat


Ambalat adalah blok laut luas mencakup 15.235 Km2 yang terletak di Laut Sulawesi atau Selat Makasar dan berada di dekat perpanjangan perbatasan darat antara Sabah, Malaysia, dan Kalimantan Timur, Indonesia. Penamaan blok laut ini didasarkan atas kepentingan eksplorasi kekayaan laut dan bawah laut, khususnya dalam bidang pertambangan minyak. Blok laut ini tidak semuanya kaya akan minyak mentah.


Wilayah Ambalat berada di Laut Sulawesi, sebelah timur pantai Kalimantan. Indonesia dan Malaysia saling klaim atas lempeng benua (continental shelf) dan Zona Ekonomi Eksklusif di wilayah itu. Oleh karena itu, sengketa yang terjadi tidak bersifat teritorial. Clive Schofiled dan Ian Storey menduga bahwa “Malaysia menganggap perbatasan Maritimnya ditentukan atas dasar sama jarak (equidistant), dengan Pulau Sipadan dan Ligitan. Namun masalahnya, ICJ tidak memutuskan batas maritim tersebut. Disisi lain, Indonesia mengklaim bahwa pulau-pulau kecil itu tidak lebih dari pulau karang berdasarkan definisi UNCLOS. Oleh karena itu, Indonesia menuntut haknya atas yurisdiksi 12 mil laut dari teritorial lautnya yang tidak mencakup perluasan continental shelf ataupun EEZ. Oleh karena itu, penentuan garis perbatasan maritim dalam pandangannya berdasarkan pada kompromi kedua belah pihak atas status legal wilayah tersebut dan dampak potensialnya pada delimitasi yang berbasis prinsip jarak yang sama.

Schofield dan Storey secara tepat mencatat apa yang terjadi dalam ketegangan Indonesia dan Malaysia atas Blok Ambalat antara Februari dan Maret 2005. Desember 2004, Indonesia memberi ijin eksplorasi wilayah yang diklaimnya di Blok Ambalat kepada Perusahaan Minyak ENI Italia dan UNOCAL AS. Ketegangan mulai muncul ketika Malaysia memberikan ijin eksplorasi di wilayah yang diperselisihkan kepada Petronas Carigali dan International Royal Dutch/Shell Group, 16 Februari 2005. Konsesi blok yang diberikan bertubrukkan dengan bagian blok Ambalat yang diklaim Indonesia. Departemen Luar Negeri menganggap tindakan Malaysia melanggar kedaulatan dan berikutnya mengirimkan nota protes kepada pemerintah Malaysia. Langkah serupa diambil Malaysia.

Ketika hubungan diplomatik memburuk, militer dikirim ke wilayah yang diperselisihkan. 3 Maret, Presiden Indonesia SBY menginstruksikkan “militer untuk melindungi kedaulatan Indonesia dan mengamankan wilayah sengketa.” Saat tiga kapal AL Indonesia berpatroli di wilayah sengketa, gugus tugas dari armada Indonesia Timur secara bertahap dikirim hingga mencapai 8 kapal perang dengan dibantu 4 jet tempur F-16 yang ditempatkan di Balikpapan, Kalimantan Timur, 7 Maret. Angkatan bersenjata Malaysia juga menempuh langkah yang sama sembari mengupayakan jalur diplomasi. 4 Maret, angkatan laut dan kapal polisi laut Diraja Malaysia dimobilisasi ke Blok Ambalat. Unit angkatan udara juga diperkuat di Sabah dan Sarawak. Ketika pembicaraan diplomatik dimulai, militer Indonesia mengurangi kehadiran sejumlah kapal perangnya di wilayah Ambalat namun menolak untuk ‘menarik diri’.

Meski demikian, pengurangan armada kapal perang di wilayah sengketa tidak mencegah terjadinya insiden kecil. Kapal perang Indonesia KRI Tedung Naga bertabrakan dengan kapal patroli KD Rencong. Kedua belah pihak saling menuduh menjadi penyebab tabrakan. Dalam pertemuan darurat merespon insiden tersebut, Presiden Yudhoyono memerintahkan panglima militer untuk menahan diri dan memberikan kesempatan kepada pemerintah menyelesaikan permasalahan tersebut dengan cara damai. Langkah yang sama juga ditempuh Malaysia. Presiden SBY semakin meningkatkan posisi politiknya ketika mengunjungi Pulau Sebatik, wilayah Indonesia terdekat dengan Blok Ambalat, 8 Maret 2005, sehari sebelum Menlu kedua negara dijadwalkan menyelenggarakan pertemuan darurat. Kunjungan SBY ke pulau Sebatik berbarengan dengan klaim militer Indonesia bahwa 7 kapal perangnya mengejar kapal patroli Malaysia. Selain, itu diumumkan penempatan batalion angkatan laut dari Jawa ke Kalimantan Timur.

Ambalat beberapa tahun ini menjadi rebutan antara Indonesia dan Malaysia, dan belum lama ini kapal perang malaysia kembali memasuki perairan ambalat yang telah diklaim oleh Indonesia, hal itu tentu mengulangi kasus Ambalat di tahun 2005 dimana kapal perang Malaysia juga pernah memasuki wilayah itu. Tindakan Malaysia itu mendapat reaksi keras di dalam negeri Indonesia, banyak pihak yang menyarankan agar pemerintah Indonesia bertindak tegas terhadap kapal perang Malaysia tersebut.Potensi perang memang ada pada kedua belah pihak, jika Indonesia bertindak tegas dan Malaysia memberi respon yang sama.

Dalam konteks itu pula, makalah ini mencoba menguji sengketa Blok Ambalat yang berdampak pada ketegangan dua negara, Indonesia dan Malaysia dengan fokus pada perspektif Indonesia. Indonesia dibawah kepemimpinan Suharto selama 23 tahun tumbuh mencapai kedewasaan politik yang termanifestasikan pada komitmennya yang kuat dan berkelanjutan untuk menyelesaikan sengketa wilayah darat dan maritimnya. Kondisi berbeda yang ditunjukkan Indonesia dalam kasus Ambalat menjadi titik balik perubahan radikal dari fase tumbuh dewasa kembali pada fase remaja secara politik. Fase remaja Indonesia terjadi karena proses transisi sebagai dampak gerakan reformasi 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar