A. SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA
I.
Acara Pidana Sebelum Zaman Kolonial
Pada masa penjajahan Belanda, telah tercipta hukum yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut sebagai hukum adat. Pada masyarakat primitif, pertumbuhan hukum yang kemudian dipisahkan dalam hukum privat dan hukum publik dalam dunia modern, tidak membedakan kedua bidang hukum tersebut. Tuntutan perdata dan tuntutan pidana merupakan kesatuan, termasuk lembaga-lembaganya.
Lembaga seperti jaksa
atau penuntut umum adalah lembaga baru. Istilah jaksa sendiri yang berasal dari
bahasa Sansekerta 'adhyaksa' artinya
sama dengan hakim pada dunia modern sekarang ini. Di Belanda-pun dahulu belum
dikenal dengan istiah ‘officer van
justitie’. Mula-mula dikenal istilah ‘schout’
disana yang khusus menuntut pidana. Begitu pula di Inggris, dahulu hanya ada ‘Crown
Prosecutor’ yang khusus menuntut jika ada kepentingan raja di dalam perkara.
Soepomo menunjukkan
bahwa padangan rakyat Indonesia terhadap alam semesta merupakan suatu
totalitas. Manusia beserta makhluk lain dengan lingkungannya merupakan
kesatuan. Alam ghaib dan alam nyata tidak dipisahkan. Apabila suatu bagian
rusak atau menjadi tidak seimbang, maka yang lain juga turut merasakan. Menurut
alam pikiran itu, yang paling utama adalah ialah keseimbangan atau hubungan
harmonis yang satu dengan yang lain. Segala perbuatan yang mengganggu
keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum (adat). Pada tiap pelanggaran
hukum, para penegak hukum mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang
terganggu itu.
Hazairin menulis bahwa
dalam masyarakat tradisional Indonesia tidak ada pidana penjara. Hukum
pembuktian pada masyarakat tradisional Indonesia sering digunakan pada
kekuasaan Tuhan. Sistem pemidanaannya-pun sangat sederhana, mulai dari
pembayaran ganti kerugian hingga ‘ri ule bawi’ (kedua kaki dan tangannya diikat
lalu diselipkan sebuah bambu) lalu dipikul keliling kampung untuk
dipertunjukkan. Jenis pidana ini adalah pidana yang sangat memalukan bagi
terpidana.
Bentuk-bentuk sanksi hukum adat (dahulu) di himpun dalam ‘Pandecten van Hetadatrech’ bagian 10:
1. Pengganti
kerugian (imateril) dalam berbagai rupa, seperti pemaksaan menikahi gadis yang
telah dicemarkan;
2. Bayaran
uang adat kepada orang yang terkena, berupa benda yang sakti sebagai pengganti
kerugian rohani;
3. Selamatan
(korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;
4. Penutup
malu, permintaan maaf;
5. Pelbagai
rupa hukuman badan, hingga hukuman mati;
6. Pengasingan
dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.
II.
Perubahan Perundang-Undangan Di Negeri Belanda Yang Dengan Asas Konkordansi
Diberlakukan Pula di Indonesia
KUHAP yang dipandang
sebagai produk nasional merupakan penerusan pula asas-asas hukum acara pidana
yang ada dalam HIR ataupun Ned Strafvordering 1926 yang lebih modern. Perbedaan
antara asas-asas hukum acara pidana Eropa Kontinental dan Anglo-Amerika masih
tetap nyata misalnya sistem juri yang ada pada sistem Anglo-Amerika tetapi
tidak dikenal di Ned Sv, juga demikian dengan KUHAP.
Bahkan sistem hakim
komisaris yang ada dalam Ned Sv tetapi tidak dikenal dalam HIR (Herzien
Inlandsch Reglement), ternyata KUHAP mengikutinya dengan nama praperadilan yang
mirip dengan fungsi Hakim Komisaris. Menurut Pasal 1 ke-7 RUU KUHAP, Hakim
Komisaris adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan
dan wewenang lain yang ditentukan oleh KUHAP1.
VOC pada tahun 1747
telah mengatur organisasi peradilan pribumi di pedalaman, yang langsung
memikirkan tentang ‘Javasche Wetten’ (Undang-Undang Jawa). Hal ini diteruskan
pula oleh Daendels dan Raffles untuk menyelami hukum adat.
Tahun 1836, Schoolten
van Oud-Haarlem telah menyatakan kesediaannya untuk mempersiapkan
perundang-undangan baru di Hindia Belanda. Karena Schoolten van Oud-Haarlem
sakit, maka pada tahun 1838 ia kembali ke negeri Belanda. Untuk mengganti
panitia di Hindia Belanda, di negeri Belanda pada tahun 1839 dibentuk lagi
panitia baru oleh menteri jajahan Vand Den Bosch yang terdiri dari Mr.
Schoolten, Mr. Schneither, dan bekas residen JFW Van Nesh.
Hasil karya mereka
adalah sebuah rancangan peraturan tata peradilan, sebuah rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Pada tahun
1845, panitia ini dibubarkan atas permintaan mereka sendiri. Di Hindia Belanda,
rancangan Undang-Undang tentang Tata Peradilan diolah lagi Z. Van Der Vinne,
Mr. Hoogeveen, Mr. Hultman, Mr. Visscher.
Mr. Wichers ini berpengalaman sebagai bekas jaksa dan anggota Dewan Pertimbangan Agung. Ia berangkat ke Hindia Belanda pada bulan Mei 1846. Tiga pekerjaan utama yang diselesaikan selama satu setengah tahun yaitu:
1. Peraturan mengenai Peradilan;
2. Peraturan mengenai perbaikan Kitab Undang-Undang yang telah ditetapkan;
3. Pertimbangan tentang berlakunya hukum Eropa untuk orang timur.
Isi dari Staatblads 1847 Nomor 23 yang terpenting adalah yang tersebut adalah Pasal 1 dan Pasal 4, yaitu:
1. Ketentuan Umum tentang Perundang-Undangan untuk Indonesia (Algemene Bepalingen Van Wetgeving Voor Indonesie yang disingkat AB);
2. Peraturan tentang Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili (Rechterlijke Organisatie yang disingkat RO);
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW);
4. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek Van Koophandel yang disingkat WVK)
III.
Inlands Reglement kemudian Herziene Inlands Reglement
Salah satu peraturan
yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 berdasarkan Pengumuman Gubernur
Jenderal tanggal 3 Desember 1847 Staatsblad Nomor 57 ialah Inlands Reglement
(IR). Reglement tersebut berisi acara perdata dan acara pidana.
Gubernur Jenderal
Rochussen khawatir tentang diberlakukannya reglement tersebut bagi orang
bumiputera sehingga reglement tersebut masih dipandang sebagai percobaan.
Apabila dijumpai berbagai kesulitan yang besar atau terjadi penyimpangan yang
terlampau luas, maka reglement tersebut yang harus tunduk pada
kenyataan-kenyataan itu.
Staatsblad 1941 Nomor
44 diumumkan kembali dengan nama Herziene Inlands Reglement. Perubahan IR
menjadi HIR ialah dibentuk lembaga Openbaar Ministerie atau Penuntut Umum.
Dengan perubahan ini, maka Openbaar Ministerie secara bulat dan tidak
terpisah-pisahkan (een en ondelbaar) berada dibawah Officer van Justitie dan
Procureur General.
Dalam praktek, IR masih
berlaku disamping HIR di Jawa dan Madura. HIR baru berlaku di kota-kota besar
seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, da lain-lain. Sedangkan
di kota-kota lain berlaku IR.
Untuk golongan Eropa
berlaku Reglement Op De Strafvordering dan Reglement Op De Burgelijk
Rechtsvordering (Reglement Hukum Acara Pidana dan Reglement Hukum Acara
Perdata). Ada pula landgerechtsreglement Staatsblad 1914 Nomor 137 sebagai
hukum acara untuk Pemgadilan Landgerecht, yaitu Pengadilan untuk semua golongan
penduduk yang memutus perkara yang kecil. Ada pengadilan-pengadilan lain
seperti Residentiegerecht untuk golongan Eropa yang memutus perkara perdata
yang kecil.
Untuk golongan
bumiputera, ada pengadilan lain seperti districtsgerecht, regentschapsgerecht
dan luar Jawa dan Madura terdapat magistraatsgerecht. Menurut ketentuan
Reglement Buitengewesten yang memutus perkara perdata yang kecil. Sebagai
pengadilan tertinggi meliputi seluruh Hindia Belanda ialah Hooggerechtshof yang
putusan-putusannya disebut arrest.
IV.
Acara Pidana Pada Zaman Pendudukan Jepang Dan Sesudah Proklamasi Kemerdekaan.
Pada zaman pendudukan Jepang
tidak terjadi perubahan asasi kecuali hapusnya Raad van Justitie sebagai
pengadilan untuk golongan Eropa. Dengan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1942 yang
mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942 dikeluarkan peraturan peralihan di Jawa
dan Madura yang berbunyi, “Semua badan badan pemerintahan dan kekuasannya,
hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat
sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah
militer" (Pasal 3).
Di luar Jawa dan
Madura-pun pemerintah militer Jepang mengeluarkan peraturan yang sama. HIR dan
Reglement voor de Buitengewesten serta Landgerechts Reglement berlaku untuk
Pengadilan Negeri (Tihoo Hooin). Pengadilan Tinggi (Kooto Hooin) dan Pengadilan
Agung (Saiko Hooin). Susunan pengadian ini diatur dengan Osamu Serei Nomor 3
Tahun 1942 tanggal 20 September 1942.
Ada pula Kejaksaan,
yaitu Saiko Kensatsu Kyoku pada Pengadilan Agung, Kootoo Kensatu Kyaku pada
Pengadilan Tinggi, dan Tihoo Kensatsu Kyoku pada Pengadilan Negeri.
Pada saat proklamasi
kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, keadaan tersebut dipertahankan dengan
Pasal II aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 yang
berbunyi, "Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung
Selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini."
Pada Umumnya hukum
acara pidana dan susunan pengadilan pada masa pendudukan Jepang masih tetap
berkelanjutan pada masa Republik, kecuali karena keadaan memaksa maka dibentuk
Mahkamah Agung di Yogyakarta serta pemindahan Pengadilan Tinggi di Sumatra dan
Jawa, masing masing ke Bukit Tinggi dan Yogyakarta.
Acara pidana tetap HIR,
Reglement op de Buitengewestern dan Landgerechtsreglement. Untuk sementara
tidak ada kemungkinan banding bagi perkara pidana. Untuk perkara perdata dapat
di banding kepada appelraad. Kemudian baru dibentuk di Makasasar Mahkamah
Yustisi. Pengadilan tertinggi tetap Hooggerechtshof di Jakarta. Setelah
dibentuk Negara-negara bagian, maka Negara-Negara bagian itu membentuk
pengadilan sendiri-sendiri. Setelah dibentuk RIS, maka segera dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 LN 1950 Nomor 30 dibentuk Mahkamah Agung di
Jakarta Menggantikan Hooggerechtschof di Jakarta.
Setelah dibentuk
Negara-Negara bagian, maka Negara-Negara bagian itu membentuk pengadilan
sendiri-sendiri. Setelah dibentuk RIS, maka segera dengan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1950 LN 1950 Nomor 30 dibentuk Mahkamah Agung di Jakarta menggantikan
Hoogeerechtshof di Jakarta dan Mahkamah Agung di Yogyakarta. Dengan
Undang-Undang nomor 18 Tahun 1950 LN 1950 Nomor 27 Landrechter (gaya baru) DI Jakarta
diganti menjadi Pengadilan Negeri dan appelraad di Jakarta diubah menjadi
pengadilan Tinggi.
V.
Hukum Acara Pidana Menurut Undang-Undang Nomor 1 (drt) Tahun 1951
Dengan Undang-Undang
tersebut dapat dikatakan telah diadakan unifikasi hukum acara pidana dan
susunan pengadilan yang beranekaragam sebelumnya. Menurut Pasal 1 UU tersebut
dihapus, yaitu sebagai berikut:
1. Mahkamah
Yustisi di Makassar dan alat penuntut umum padanya;
2. Appelraad
di Makasaar;
3. Appelraad
di Medan;
4. Segala
Pengadilan Negeri dan segala landgerecht (cara baru) dan alat penuntut umum
padanya;
5. Segala
Pengadilan Kepolisian dan alat penuntut umum padanya;
6. Segala
Pengadilan Magistraad (Pengadilan Rendah);
7. Segala
Pengadilan Kabupaten;
8. Segala
Raadistrik,
9. Segala
Pengadilan Negeri;
10. Pengadilan
Swapraja;
11. Pengadilan
adat.
Pembentukan Inlands
Reglement kemudian menjadi HIR itu tidak terlepas pula daripada usaha Belanda
membenahi peraturan hukum nya setelah terlepas dari kekuasaan prancis.
Berdasarkan Asas
Konkordansi, maka paket perundang-undangan baru itu hendak diberlakukan pula di
Indonesia sejak Oemar Seno Adji menjabat Menteri kehakiman, telah dirintis
jalan menuju kepada terciptanya perundang-undangan baru terutama tentang hukum
acara pidana. Panitia tersebut telah berhasil menyusun RUU hukum acara pidana
yang bercermin kepada hasil seminar hukum nasional mengenai hukum acara pidana
dan HAM yang diadakan di Semarang pada tahun 1968.
Pada tahun 1974 rencana
tersebut di limpahkan kepada Sekretariat Negara dan kemudian dibahas oleh 4
instansi yaitu Mahkamah agung, Kejaksaan Agung, Hankam, termasuk didalamnya
Polri dan Department Kehakiman. Dalam rangka penyempurnaan rancangan ini telah
didengar pula beberapa pendapat ahli ahli hukum. Seperti Persatuan Sarjana
Hukum Indonesia (Persahi), Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi), Persatuan Jaksa
Indonesia (Persaja) dan Persatuan Adkovat Indonesia (Peradi).
Akhirnya RUU Hukum
Acara Pidana itu di sampaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas dengan
amanat Presiden pada tanggal 12 september 1979 Nomor r.08/p.u/IX/1979.
Dibandingkan dengan
hasil final tersebut dengan rancangan semula maka tampak banyak perubahan
perubahan yang paling asasi dari perubahan tersebut ialah hilangnya wewenang
penyidikan Kejaksaan yang semula ada di dalam HIR, kemudian dipersempit oleh
rancangan menjadi penyidikan lanjutan. Pasal 284 ayat (2) menjanjikan bahwa
dalam 2 tahun akan diadakan perubahan peninjauan kembali terhadap Hukum Acara
Pidana khusus seperti misalnya yang terdapat dalam UU Tindak Pidana Ekonomi dan
UU Tindak Pidana Korupsi.
RUU Hukum Acara Pidana
disahkah oleh Sidang Paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981 kemudian
Presiden mengesahkan menjadi UU 31 Desember 1981 dengan nama Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU Nomor 8 Tahun 1981, LN 1981 Nomor 76, TLN
nomor 3209).
B.
HAKIM DAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
I.
Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka
Hakim yang bebas dan
tidak memihak telah menjadi ketentuan universal. Ia menjadi ciri pula suatu
Negara hukum. The Universal Declaration of Human Rights, pada Pasal 10 yang
telah diterjemahkan sebagai berikut berbunyi,
"Setiap
orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan
secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal
menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dan dalam setiap tuntutan pidana
yang ditujukan kepadanya."
Sehubungan dengan Pasal
itu, Pasal 8 yang telah diterjemahkan sebagai berikut berbunyi,
"Setiap
orang berhak atas pengadilan yang efektif oleh hakim-hakim nasional yang kuasa
terhadap tindakan perkosaan hak-hak dasar, yang diberikan kepadanya oleh
Undang-Undang Dasar Negara atau Undang-Undang."
Pasal 24 UUD setelah
amandemen ke-3 dan ke-4 berbunyi sebagai berikut,
1. Kekuasaan
Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan.
2. Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
dibawahnya dalam lingkugan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan
sebuah Mahkamah Konstitusi.
3. Badan-badan
lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dengan
Undang-Undang.
Pasal 24 yang asli
tidak memerinci jenis peradilan seperti peradilan umum dan seterusnya. Yang
aneh dalam amandemen UUD ini ialah Kepolisian masuk dalam UUD, sedangkan
Kejaksaan (Jaksa Agung) akan diatur dengan Undang-Undang. Kedudukan para hakim
yang dimaksud diatas telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Begitupula perincian wewenang dan tugasnya dalam
KUHAP, khusus mengenai bidang acara pidana.
Banyak faktor yang
turut mempengaruhi tindakan kebebasan pengadilan tersebut. Faktor tersebut
merupakan gangguan dari manusia yang berada diatas atau disamping hakim tersebut.
Selain itu, masih ada faktor lain yang mempengaruhi kebebasan hakim, yaitu faktor
lingkungannya, terutama kehidupan sosial ekonomi-nya.
Hakim Mohammad Suffian
dari Pengadilan Federal Malaysia di Konferensi Lawasia di Kuala Lumpur,
Malaysia, mengatakan sebagai berikut,
"Untuk
memiliki hakim-hakim yang tidak memihak dengan sendirinya, mereka harus
diangkat dari orang-orang yang cakap dan berpengalaman. Di Inggris, merupakan
kebiasaan untuk mengangkat hakim-hakim dari kalangan advokat yang
terkemuka..."
Hakim berbeda dengan
pejabat-pejabat lain, harus benar-benar menguasai hukum, bukan sekadar
mengandalkan kejujuran dan kemauan baiknya. Menurut sistem yang diatur di
Indonesia, pemeriksaan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim, hakim itu
harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak. Terdakwa yang
diwakili oleh Penasehat Hukumnya untuk bertanya kepada saksi- saksi, begitupula
kepada Penuntut Umum. Semua itu dengan maksud menemukan kebenaran materil.
Hakimlah yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya. Tidak benar
pendapat yang menyatakan hakim harus pasif dan hanya memimpin sidang dan
mendengar keterangan pihak-pihak belaka.
Hakim di Amerika
Serikat mengumpulkan bukti-bukti kemudian memberi komentar atas bukti-bukti
tersebut. Dengan demikian, ia dapat memanfaatkan pengalaman dan kecakapannya
untuk membantu juri menemukan keputusannya yang tepat.
Ter Haar mengatakan
hakim Indonesia harus mendekatkan diri serapat-rapatnya dengan masyarakat.
Dengan berlakunya KUHAP, maka diharapkan peranan hakim dalam menciptakan
keputusan-keputusan (yurisprudensi) yang tepat menjawab masalah-masalah baru
yang timbul.
Kebebasan hakim dalam
menemukan hukum tidaklah berarti ia menciptakan hukum, Wirjono Prodjodikoro
menolak pendapat orang yang mengatakan hakim menciptakan hukum. Menurut beliau,
hakim hanya merumuskan hukum. Pekerjaan hakim katanya mendekati pembuatan
undang-undang, tetapi tidak sama. Untuk menemukan hukum, hakim dapat bercermin
pada yurisprudensi dan pendapat ahli hukum terkenal (doktrin).
Apabila suatu peraturan
dalam putusan hakim diterima secara tetap ternyata menjadi keyakinan hukum
umum, atau dengan kata lain dalam suatu masalah hukum telah terbentuk
yurisprudensi tetap dan peraturan itu menjadi hukum objektif, bukan berdasarkan
putusan hakim tetapi sebagai kebiasaan. Berdasarkan garis tingkah laku
hakim-hakim, terciptalah keyakinan hukum umum. Di Negara- negara common law
yurisprudensi menjadi sumber hukum.
Hakim tidak memihak
berarti juga hakim tidak menjalankan perintah dari pemerintah. Bahkan jika
harus demikian menurut hukum, hakim dapat memutuskan menghukum pemerintah,
misalnya tentang keharusan ganti kerugian yang tercantum dalam KUHAP.
Walaupun hakim diangkat
dan digaji oleh pemerintah, namun ia tegak berdiri menjalankan kewajibannya dan
tidak dipengaruhi oleh pemerintah. Hakim yang tidak memihak merupakan fundamen
dari suatu Negara hukum.
II.
Kekuasaan Mengadili
Tugas pengadilan dalam
perkara pidana ialah mengadili semua delik yang tercantum dalam
perundang-undangan pidana Indonesia yang diajukan (dituntut) kepadanya untuk
diadili. Dalam hal kekuasaan mengadili, ada dua macam (yang biasa disebut juga
kompetensi), yaitu sebagai berikut,
1. Kekuasaan
berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (attribute
van rechsmacht) kepada suatu macam pengadilan (pengadilan negeri), bukan pada
pengadilan lain;
2. Kekuasaan
berdasarkan peraturan hukum mengenai pembagian kekuasaan mengadili (distributie
van rechtsmacht) diantara satu macam (pengadilan- pengadilan negeri).
Yang pertama disebut
kompetensi mutlak (absolute kompetentie) dan yang kedua disebut kompetensi
relative (relatieve kompetentie). Pada tingkat pertama mungkin selain dari
pengadilan negeri ada pengadilan lain yang berwenang mengadili suatu perkara,
misalnya pengadilan tentara, pengadilan agama (misalnya nikah, talak, dan
rujuk), pengadilan administrasi, dan lain-lain. Semua ini disebut kompetensi
mutlak (absolut).
Jika sudah dapat
dipastikan bahwa pengadilan negeri-lah yang berwenang mengadili perkara
(pidana) itu pada tingkat pertama, bukan pengadilan seperti tata usaha Negara,
maka yang dipersoalkan adalah pengadilan negeri yang mana berwenang. Inilah
yang disebut kompetensi relatif. KUHAP mengatur masalah kompetensi relatif ini
dalam Pasal 84, 85, dan 86.
Ada yurisprudensi
Mahkamah Agung yang menentukan bahwa apabila karena suatu sebab perkara-perkara
itu diajukan kepada beberapa pengadilan negeri bersama- sama, maka yang harus
melanjutkan pemeriksaan perkara ialah pengadilan negeri yang didalam daerah
hukumnya terdakwa ditahan, atau apabila terdakwa tidak ditahan, pengadilan
negeri yang didaerah hukumnya terdakwa berdiam atau berada (putusan Mahkamah
Agung 22 Agustus 1955, termuat dalam Majalah Hukum tahun 1957, Nomor 5-6).
Ketentuan lain tentang
kompetensi mengadili ialah tentang pengadilan negeri yang berwenang mengadili
seseorang yang melakukan delik di luar negeri yang tercantum dalam Pasal 86.
Disitu ditentukan bahwa dalam hal demikian maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
yang berwenang mengadili.
Dalam Pasal 148 KUHAP
ditentukan bahwa jika seorang ketua Pengadilan Negeri berpendapat bahwa perkara
pidana yang diterimanya tidak termasuk wewenang pengadilan yang dipimpinnya
tetapi termasuk wewenang Pengadilan Negeri lain, ia menyerahkan surat
pelimpahan perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri lain yang dianggap
berwenang mengadilinya. Untuk itu dibuat surat penetapan tentang alasannya.
Surat penetapan beserta
surat pelimpahan perkara diserahkan kepada Penuntut Umum dan Kejaksaan Negeri
tersebut meneruskan kepada Kejaksaan Negeri di tempat Pengadilan Negeri yang
disebut ke dalam surat penetapan. Dalam hal ini, Penuntut Umum dapat mengajukan
perlawanan kepada Pengadilan Tinggi yang bersangkutan dalam 7 hari setelah
penetapan tersebut diterima.
Dalam Pasal 149 ayat
(1) butir d dikatakan bahwa pengadilan negeri yang menerima perlawanan tersebut
wajib meneruskan perlawanan tersebut kepada pengadilan tinggi yang
bersangkutan.
Bertambah luas wewenang
tersebut dapat disebutkan tentang diperkenalkannya lembaga baru yang dinamakan
praperadilan yang mirip dengan Rechter Commissaris Di negeri Belanda atau Judge
d'Instruction di Prancis.
Menurut KUHAP, wewenang
praperadilan ini ada dua:
a. Sah
atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan.
b.Ganti
kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Wewenang pengadilan
juga bertambah di bidang pemberian putusan ganti kerugian, menurut Pasal 96
KUHAP, putusan itu diberikan dalam bentuk penetapan. Terutama yang berhubungan
dengan penahanan yang tidak sah, hakim mempunyai kebebasan untuk memutuskan kepantasan
memberikan ganti rugi tersebut (naar het oordeel vanden Rechter, opgronden van
bilijkheid).
Dimonopoli oleh jaksa,
akan tetapi dalam hal tindakan penuntutan ada juga di tangan hakim. Setiap
tindakan baik oleh jaksa maupun oleh hakim yang di tunjukan terhadap tersangka
merupakan tindakan penuntutan dalam arti mengantar dia menuju ke sidang
pengadilan. Contoh tindakan penuntutan yang ada di tangan hakim ialah
perpanjangan penahanan dan penuntutan sidang atau pemanggilan.
Dalam HIR pelaksanaan
putusan hakim dipercayakan sepenuhnya kepada jaksa. Dalam UUKK pada pasal 33
ayat (2) telah ditentukan bahwa pengawasan putusan hakim dilakukan oleh ketua
pengadilan yang bersangkutan dan yang memerlukan pengaturan lebih lanjut dengan
undang-undang.
Pada abad yang lalu di
Eropa dianut suatu pendapat bahwa hakim itu hanyalah mulut undang-undang. Ia
tidak dapat memberikan pendapat tentang suatu undang- undang. Iini sejalan
dengan pendapat yang mengutamakan kepastian hukum. Kalau hakim diberikan
wewenang menafsirkan undang-undang atau menemukan hukum sendiri langsung ke
masyarakat maka kepastian hukum akan terganggu.
Mulai awal abad ke-20
di Eropa mulai orang berpendirian lain. Alasan yang dikemukakan mereka ialah
bahwa undang-undang itu selalu tidak lengkap, Selalu terdapat kesenjangan
didalamnya. Untuk mengisi kekosongan dan kesenjangan itu, hakim berkewajiban
menemukan hukum.
Tidak pernah ada
undang-undang yang buatan manusia itu dapat bertahan tetap sesuai dengan
keadaan masyarakat yang terus berkembang menjadi hukum dalam masyarakat. Tidak
kurang pentingnya dalam hal ini peranan para hakim yang selalu mendekatkan diri
pada masyarakat dan membuat keputusan keputusan yang hidup yang dapat diterima
oleh masyakarat umum berupa yurisprudensi disamping penemuan penemuan baru oleh
para sarjana hukum beruka doktrin.
Dalam UUKK terdapat 2 buah ketentuan mengenai hal ini. Yang pertama yaitu pasal 16 ayat (1) yang mengatakan sebagai berikut; "Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksan dan mengadilinya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar