2.
Kegelapan
Masih saja "pemerintah tani dan tukang warung" Belanda takut kepada Universitas dan Sekolah Tinggi seperti kepada hantu. Masih saja belum terlepas ia dari gangguan momok "buruh intelektual". Ia sudah berbuat keliru dalam pandangan politik pengajaran Inggris dan mengambil kesimpulan yang salah. Ia terlalu bodoh untuk memikirkan bahwa berhubung dengan wawasan dan kecakapan imperialisme Inggris-lah, maka dulu sudah ada kaum terpelajar di India yang pada masa sulit kerapkali membantu pemerintah Inggris, dan juga berkat adanya kelas intelektual, termasuk juga kaum ekstrimis, maka Tilak dan Mahatma Gandhi beroleh kemenangan ekonomi dengan gerakan boikotnya yang luas. Dan pula karena Inggris bekerja sama dengan borjuasi bumiputra modern, di lapangan politik dan ekonomi, maka Inggris dapat memerintah terus di India walaupun digempur oleh gerakan non-cooperation baru-baru ini.
Pemerintah Belanda di dalam perdebatan selalu mengemukakan pelbagai keberatan terhadap pendirian universitas di Indonesia, yaitu keberatan yang hanya dapat diterima oleh anak-anak kecil. Semua dalilnya hanya terpakai di zaman timbulnya penjajahan dan dapat disimpulkan dalam alasan-alasan di bawah ini.
- Bahwa pemerintah ini, sesudah menyesal, seharusnya sekarang menjadikan dirinya pendidik rakyat Indonesia dengan belanja rakyat sendiri dan sepatutnya memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada anak-anak Indonesia, jika ia tidak doyan omong kosong;
- Bahwa bangsa Indonesia baik otak maupun kebangsaan tidak lebih tinggi, juga sebaliknya tidak lebih rendah dari bangsa mana saja, dan bahwa mereka itu sungguh matang untuk menerima pengajaran yang macam mana sekalipun;
- Bahwa universitas Indonesia yang pertama tak perlu cangkokan atau tiruan dari Eropa, tetapi dengan memperhatikan perguruan tinggi di Eropa berdasarkan pada kecerdasan rohani dan keadaan masyarakat Indonesia sendiri pada masa ini.
Filipina
— yang 12 juta penduduknya — sudah mempunyai empat universitas dan beberapa
sekolah tinggi, tapi Indonesia dengan penduduknya yang lima kali lebih banyak
belum mempunyai sebuah juga.
Sekejap
pun tak kita lupakan, bahwa bila "orang Belanda" mendirikan
universitas di Indonesia, pengajarannya niscaya dan pasti lebih tinggi daripada
di koloni lain sebagaimana, katanya, universitas Belanda jauh lebih tinggi
daripada universitas di mana pun. Tanpa mempedulikan tabiat menurutkan kata
hati sendiri itu, kita hanya ingin mengatakan kepada Belanda, "Cobalah dulu tunjukkan kecakapanmu itu
di Indonesia!"
"Perbuatan itulah yang sebenarnya harus kamu
buktikan!"
Tetapi,
selain duit yang bagi seorang Belanda lebih berat timbangannya daripada
cita-cita dan alasan politik, ada pula pandangan politik lain yang tak dapat
kita harapkan dari si Belanda tani dusun yang dungu itu.
Belum
selang berapa lama Tuan Hardeman, Kepala Departemen Pengajaran, menerangkan
dalam sidang Dewan Rakyat bahwa mendirikan suatu perguruan tinggi belum tentu melahirkan
buruh terpelajar, karena kebutuhan akan buruh pelajar itu untuk sementara waktu
ini berkurang, disebabkan kesukaran ekonomi yang nanti tentu akan pulih. Dengan
ini lenyaplah "momok" seperti yang dibuat oleh Java Bode, tanggal 30
Juni.
Akibat
politik pengajaran Belanda di sana-sini kelak akan kita ulas lagi. Di sini kita
ingin memastikan, dengan angka-angka, bahwa perguruan rendah, menengah dan
tinggi, semenjak dulu tidak cukup untuk rakyat yang berjumlah 55 juta. Hal itu
harus diakui tanpa mengindahkan alasan kosong dari yang menyebut dirinya
"pemerintah".
Kita
lewati sepintas lalu sekolah-sekolah tinggi yang sudah beberapa tahun, katanya,
mengeluarkan berpuluh-puluh dokter, mister, dan insinyur. Kita tujukan
pembicaraan sebentar kepada soal sekolah rendah. Jumlah anak-anak yang harus masuk
sekolah pada tahun 1919 adalah sebagai berikut : H.I.S. 1%, Sekolah
Rakyat 5%, Sekolah Desa 8% sampai 14%. Lebih kurang 86% anak-anak yang
seharusnya bersekolah tak mendapat tempat (menurut laporan kongres N.I.O.G.
tahun 1923 yang diumumkan dalam Indische
Courant). Mereka yang bisa membaca dan menulis sekarang ditaksir 5% sampai
6%, mungkin juga 2% sampai 3%.
Jumlah
belanja perguruan di tahun 1919 menurut kabar yang sah adalah f 20,000,000 dan
f 75,000,000 untuk 150,000 orang anak-anak
Eropa dan f 12,500,000 untuk anak-anak dari 55,000,000 tukang bayar pajak
rakyat Indonesia. Pada tahun 1923 belanja perguruan itu f 34.452.000. Jadi,
untuk seorang anak bumiputra pada waktu itu dikeluarkan 30 sen, sama artinya
1/7 dari yang dikeluarkan untuk anak Filipina.
Untuk
badan-badan lain, yang memperlihatkan contoh yang baik kepada rakyat yang tak
senang, seperti polisi, militer dan armada, pada tahun itu dikeluarkan belanja
sebesar f 156,274,000. Tambahan pula seperti yang sudah dimufakati antara dia
sama dia, di lain tahun akan dibelanjakan f 300,000,000. Satu beban yang berat
sekali di atas bahu si Kromo yang merana itu.
Kita,
kaum revolusioner, pada tahun 1921 bermaksud untuk memperbaiki keteledoran
pemerintah dalam pendidikan itu dengan mendirikan sekolah-sekolah sendiri.
Dengan menempuh pelbagai macam kesusahan, seperti kesulitan teknis,
kepegawaian, keuangan, politik dan polisi, akhirnya dapat kita dirikan di
seluruh Jawa 52 buah sekolah dengan kira-kira 50,000 orang murid dan jumlah itu
bertambah banyak. Akan tetapi, sekolah itu digencet dengan kekerasan. Dengan
alasan yang tak cukup setiap waktu guru-guru di sekolah itu dilarang mengajar,
dan orangtua murid-murid ditakut-takuti. Pukulan penghabisan dijatuhkan Serikat
Hijau (sebuah kumpulan penyamun yang dikerahkan, diupah dan dipimpin oleh
pemerintah dan orang-orangnya).
Penyamun upahan ini disuruh membakar sekolah, menakut-nakuti dan menganiaya
orang, murid dan guru-gurunya. Dan perintah dijalankan oleh mereka dengan sungguh-sungguh.
Sebuah pergerakan rakyat yang sehat menuju ke pemberantasan buta huruf yang dipimpin dengan gembira dan tak memandang susah payah oleh kaum revolusioner di Priangan pada tahun 1922 ditimpa nasib yang seburuk itu pula. Politik pemerintah ini dalam soal pengajaran boleh disimpulkan dengan perkataan: "bangsa Indonesia, harus tetap bodoh supaya ketenteraman dan keamanan umum terpelihara".
3.
Kelaliman dan Perbudakan
Meski
sudah 300 tahun Indonesia berkenalan dengan peradaban Barat, masih saja rakyat
kita hidup di dalam keadaan yang tak mengenal atau mempunyai hak. Pak tani tak
pernah sehari juga mendapat kepastian tentang kepemilikan, kemerdekaan bahkan
nyawanya sekalipun. Setiap tahun skrup pajak rakyat semakin keras putarannya.
Kaum buruh tidak boleh mengadakan perhimpunan atau mengemukakan keberatannya.
Permohonan rakyat yang pantas tidak didengarkan. Pendidikan dan pemimpin rakyat
yang dipercayai rakyat dicap dan diperlakukan seperti penghasut dan bandit, dan
karena itu, dengan tidak diperiksa terlebih dahulu, dimasukkan ke dalam
penjara, disekap di kamar tikus, dihalau keluar negeri atau diketok kepalanya
sampai mati. Permintaan dan protes yang beralasan dimusnahkan oleh birokrasi
yang rupanya lebih suka tenggelam dalam kebusukannya sendiri.
Sekarang
marilah kita persilakan Prof. Van Vollenhoyen yang termashur itu berbicara dan
mencela sikap pemerintah Belanda, seperti yang tertulis dalam buku beliau Indonesier en zijn Grond. Indonesia
boleh jadi mempunyai tidak kurang dari 70% penduduk yang hidup dari pertanian;
dan karena itulah, maka penting bagi seorang terpelajar — yang kehormatan dan
kedudukannya belum pernah dicurangi orang — supaya mendengar apakah yang sudah
diperbuat terhadap si tani dalam beberapa tahun oleh sebuah kekuasaan yang mengaku
dirinya sebagai "pengasuh rakyat" serta merasa berbuat serupa itu.
Kita
bukan hendak mengorek-orek yang sudah terjadi maka lebih dulu diperbincangkan
kejadian-kejadian semenjak 60 tahun dari abad yang silam. Siapa saja tentu tahu
dan membenarkan perkataan bahwa di tahun-tahun itu "orang Jawa
dianiaya". Akan tetapi tidak semua orang dengan lekas melihat macam apa
dan sampai ke mana batas penggencetan atas milik kaum tani itu. Untuk
mengetahui hal ini, tak usah kita baca buku-buku kelaliman pemerintah Belanda
ini sebagai "kaum penghasut dan penyebar kebencian", tetapi kita ambil
saja perslahannya sendiri.
Kesewenang-wenangan
Daendels, biar bagaimana busuknya, masih dapat dianggap luar biasa. la
mempunyai kekuasaan sendiri atas sawah dan ladang rakyat untuk menggaji pegawai
bumiputra (hlm. 12 dan dll).
Seterusnya
van Vollenhoven berkata: "dibandingkan
dengan peratusan raja-raja Jawa yang hampir sama busuk dengan kebiasaan kita,
"masih terbatas" dalam kerajaannya saja, Kedu, Yogyakarta dan
Surakarta, tetapi kita meluaskannya sampai meliputi seluruh pulau itu"
(hlm. 16).
Pegawai-pegawai
desa mengambil suatu kepunyaan rakyat yang baik untuknya dan diberikannya yang
buruk kepada rakyat yang bodoh. Semua itu perbuatan sewenang-wenang (hlm. 17).
"Apakah yang kita harapkan sekarang?”
tanya van Vollenhoven seterusnya. Apakah kita berangsur-angsur akan
menghentikan kerewelan perkara sawah ladang karma pajak tanah (ini sudah
terjadi). Apakah kita berangsur-angsur tidak lagi akan mengambil sawah ladang
dan kebun paksaan rakyat (ini sudah terjadi). Apakah kita akan mengurangi dan
menghapuskan akibat yang merugikan dari kerja paksa atas tanah-tanah kepunyaan
rakyat (ini sudah terjadi). Dan selanjutnya kita belajar mendiamkan tangan kita
yang gatal itu. Yang belakangan ini belum terjadi (hlm. 20).
Bila
pada tahun 1919 seorang Jawa yang haknya atas tanahnya dirugikan f 1,000 datang
mengadukan halnya kepada kontrolir, ia akan dihukum delapan hari kerja paksa.
Bila ia menghadap Presiden Pengadilan Negeri, ia akan dijawab, "Tidak ada waktu!" dan bila
orang itu pergi minta perlindungan Wali Negeri, "Sri Paduka Tuan Besar tidak berkenan menjawab". Dalam
bahasa Belanda yang agak halus disebut hal itu "godsgeklaagd" (hlm. 26).
Seringkali
terjadi di tengah-tengah sebidang tanah yang akan diberikan pemerintah kepada
tuan-tuan besar kebun ada sawah atau ladang bumiputra. Menurut undang-undang,
tanah itu tidak boleh diambil kecuali jika untuk keperluan pemerintah sendiri.
Akan tetapi dalam praktiknya,
orang berikhtiar membujuk si inlander
supaya mau menukar haknya dengan uang (hlm. 26). Berikut ini adalah kesimpulan
dari Prof. van. Vollenhoven yang tak dapat dicela kebenaran dan kenyataannya
itu.
"Tetapi rupanya inilah yang sepenting-pentingnya
orang Indonesia yang punya tanah sendiri, sungguh sangat susah akan mempunyai
perasaan selain dari pelanggaran terus menerus; dusta dan penipuan atas hak
tanahnya yang sah di atas kertas, sebagai daya upaya yang tak habis-habisnya
untuk merampasi haknya tadi atau berdaya upaya supaya ia jangan dapat
mempergunakannya" (hlm. 28).
Kita
masih dapat mengutip beberapa gugatan dan kesimpulan van Vollenhoven yang
berkenaan dengan penipuan atas tanah dengan jalan mengubah kalimat
undang-undang, dengan merusak dan melanggar undang-undang itu sendiri dan
tentang sebab-sebab
pemberontakan di Sumatera, Borneo, yakni pencurian tanah. Akan tetapi, kutipan tersebut
di atas sudah memadai.
Dan
tidakkah semua kenaikan pajak sekarang itu adalah suatu kesewenang-wenangan
yang kasar jika kita menggunakan perkataan Prof. van Vallenhoven itu sendiri?
Adakah rakyat kita diberitahu waktu pemerintah mengambil suatu keputusan dan
memperbincangkan kepemilikan, pekerjaan dan kemerdekaan kita?
Tidak
pernah! Persis sebagaimana pemerintah tidak pernah bertanya kepada kita, "Apakah kita menyukainya atau
tidak?"
Bangsa
Indonesia yang 55 juta itu tidak mempunyai wakil seorang jua pun dalam
pemerintahan ini yang boleh memperdengarkan suara atau nasihat, protes atau
celaan. Gerombolan militeris dan birokrasi yang menghisap darah dan menguasai
nasib kita, tak pernah kita sukai dan kita pilih. Mereka tak dapat kita
hentikan sebab kita tak punya kekuasaan politik. Mereka ini mesti kita terjang
bila kita tidak suka kepada mereka, lain tidak! Kesimpulannya, sekalian dan
peraturan yang menguasai kita di Indonesia dibuat sesuka hati mereka sendiri
dan pembayaran pajak dalam teori atau praktik, semuanya adalah
"pencurian".
Marilah
kita perhatikan nasib 300.000 kuli kontrak, yang "katanya" dilindungi
oleh pemerintah ini. Upah yang kurang lebih f 12 sebulan sungguh hampir tak
cukup untuk membeli pakaian yang biasanya koyak-koyak, sebab setiap hari
dipakai kerja di kebun. Sehari bekerja 14 sampai 18 jam, sebab kebun-kebun tembakau biasanya
jauh letaknya dari pondokan kuli, lebih tepat kandang kuli, meskipun di dalam
kontrak hanya tertulis 10 jam.
Perlakuan
pengawas-pengawas kebun bangsa Eropa lebih tepat digambarkan sebagai penikaman,
pembacokan; penganiayaan dan pembunuhan atas asisten-asisten kebun dan
"kehalusan yang diusik-usik hingga menjad kekejaman!" Di sinilah
terjadi pergaulan sosial yang diracuni oleh judi, candu dan persundalan yang
merendahkan tabiat kuli-kuli dan menyebabkan mereka banyak berutang kepada
majikannya, hingga kontrak mereka terpaksa selamanya diperbaharui.
Syarat-syarat
kerja seperti itu — langsung atau tidak — dipikulkan di atas kaum tani yang
kebanyakan buta huruf dan dungu; mereka ditekan dalam satu "kontrak"
yang diakui oleh pemerintah. Dalam kontrak itu disebutkan mereka "tak
boleh berorganisasi dan mogok" — yang dengan jalan itu mereka dapat
menagih upah dan syarat-syarat kerja yang sedikit mendingan seperti di
negeri-negeri lain. Hal itu diakui oleh pemerintah. Sungguh hal itu hanya dapat
dipertahankan oleh "saudagar budak" di zaman biadab.
Marilah
kita ingat kejahatan-kejahatan yang dilakukan di Deli. Marilah kita ingat
penganiayaan baru-baru ini yang dilakukan oleh orang-orang Eropa di Lampung dan
Sumatera Selatan, yaitu kejahatan yang dianggap sebagai dongeng saja di abad.
Bahkan lebih dari dongeng, yaitu ringannya hukuman yang dijatuhkan oleh
pemerintah atas "bajingan-bajingan" Eropa itu.
Kaum
buruh industri, perkebunan dan pengangkutan yang beratus ribu atau beberapa
juta di Jawa dan lainnya, yang diperbudak tidak dengan kontrak, yang katanya
"buruh merdeka", bernasib tak lebih baik daripada budak kontrak asli.
Satu per satu kakinya diikat dengan rantai aturan, hingga tak dapat
berorganisasi dan berjuang melawan kapitalis yang sewenang-wenang. Di dalam
Dewan Rakyat, Majelis Tinggi dan Rendah, dan surat-surat kabar yang berlain-lainan
tujuan itu, telah berulang-ulang diperbincangkan hak organisasi dan hak mogok
dari kaum buruh Indonesia! Tak perlu kita ulang lagi di sini, atau kita uraikan
hukum-hukum paksa itu. Sekali lagi dikatakan undang-undang itu bukanlah menurut
perasaan modern, tetapi aturan paksa yang dihadapkan oleh segerombolan kaum
birokrat kepada buruh Indonesia, buat pengikat segala daya upaya mereka menuju
perbaikan nasib.
Semua
undang-undang yang dijalankan itu menyebabkan kita teringat kepada zaman biadab
dan perbudakan yang gelap. Begitu banyak undang-undang paksa terhadap politik
gerakan sehingga tak dapat kita terus-terang mengatakan atau menulis sesuatu
mengenai si penjajah atau yang dapat membukakan mata rakyat yang terbelenggu
ini.
Rakyat
Indonesia mesti menutup mulutnya jika terjadi penganiayaan atas diri
pemimpin-pemimpin yang mereka percayai dan kasihi, juga apabila dengan sengaja
para pemimpin dirampas beberapa bulan kemerdekaannya atau tanpa diperiksa lebih
dulu terus dibuang sebab dianggap berbahaya atau secara khianat ditikam,
dibacok, diketok kepalanya sampai mati, atau dicabut nyawanya dengan peluru.
Bila
diceritakan kepada rakyat bahwa seorang pemimpin yang dicintai, seperti Haji
Misbach yang katanya mati "disebabkan demam hitam" pada satu pembuangan
yang ditentukan oleh pemerintah, mau tidak mau, mereka mesti percaya saja.
Bilamana
rakyat mendengar bahwa seorang pemuda yang terpelajar dan sopan, seperti
Soegono kita, pemimpin V.S.T.G yang katanya "membunuh diri" dalam
penjara, sedangkan pada kepala dan tangannya terdapat bekas-bekas penganiayaan
dan sebuah jarinya hancur sama sekali, rakyat "tak dapat mendakwa",
juga tidak boleh mengajukan protes sama sekali.
Dan
pemerintah yang "katanya" jadi pengasuh dan pelindung rakyat kita,
tidak mengadakan pemeriksaan saksama tentang sebab-sebab kematian yang
sekonyong-konyong dari pemimpin rakyat yang cakap berjuang dengan dada terbuka
dan pendek kata dicintai dan dipercayai rakyat. Dia tidak mempedulikan atau tak
punya keberanian moral akan mengakui dan membetulkan kesalahannya dan menghukum
yang bersalah menurut undang-undang
Fiat justitiaruate cellum.
(Jalankanlah
keadilan meskipun langit akan runtuh!)
Keadilan di Indonesia hanya bagi segolongan kecil yaitu si penjajah kulit putih. Bagi bangsa Indonesia yang berhak atas negeri itu, tak ada keadilan dan pengadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar